DAKWAH ISLAM INDONESIA DALAM PENGABDIAN DAN PERJUANGAN MOHAMMAD NATSIR
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Disampaikan di: Gedung Nusantara V DPR/ MPR RI pada tanggal 5 April 2019 dalam rangka Seminar Kebangsaan: “Mengokohkan Spirit NKRI Sebagai Nilai Fundamental Melalui Refleksi dan Deklarasi Bulan NKRI”
Dustur Rabbani
Membaca kembali bentangan panjang di belantara dakwah tanah air, tidak lengkap rasanya apabila tidak mentakrifkan sosok rajulud da’wah yang satu ini, yakni Allâhu yarham Mohammad Natsir.
Di antara kekhassan tulisannya, adalah kekentalannya dalam mengurai bahasan dakwah. Ayat dan hadits Nabi shalallâhu ‘alahi wa sallam kerapkali menjadi pijakan utama dalam membedah semua persoalan ummat. Di antara ayat-ayat yang dipetik terkait dengan;
1. Dâ’i adalah profesi termulia di sisi Allah ‘azza wa jalla (Lihat: QS. Fushshilat/ 41: 33)
2. Dakwah wajib dilakukan oleh setiap Muslim dengan segala metode dan tingkatannya (QS. An-Nahl/ 16 : 125)
3. Dakwah adalah sebuah gerakan, bukan sekedar kewajiban (QS. Âlu ‘Imrân/ 3 : 104).
Adapun hadits Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengingatkan “pukul berapa sekarang?”, artinya kita selalu dituntut untuk memperhatikan waktu dan keadaan sebagaimana tertuang dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya zaman terus beredar/ berubah …” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Shahabat Abi Bakrah Nufai’ bin Harits radhiyallaahu ‘anh).
Di samping itu, sering pula petikan syair Arab Syauqi Beik dibawakannya: “Qif dûna ra’yika fiel hayâti mujâhidan … Innal hayâta ‘aqiedatun wa jihâdun”
Definisi Universal Dakwah
Sebagaimana tertuang dalam buku Fiqhud Da’wah, secara universal Mohammad Natsir mendefinisikan dakwah sebagai berikut: “Dakwah merupakan satu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap Muslim dan Muslimah dalam arti al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar”
Inilah yang mengilhami bahwa pemetaan dakwah, tidak lepas dari dua pendekatan; yakni da’wah binâan (membangun dan membina) dan da’wah difâan (menangkal dan membela).
Dari Dakwah Politik Ke Politik Dakwah
Sekalipun kendaraan politik Masyumi sudah tidak dapat dijalankan, namun mesin dakwah harus tetap berjalan. Sebagai babak lanjut perjuangan dakwah, maka pada tanggal 26 Februari 1967, Mohammad Natsir bersama kawan-kawan yang terdiri dari tokoh-tokoh ummat pendukung Masyumi mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Sejak itu pula populer istilah “Dulu kita berdakwah melalui jalur politik, sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah”.
Menyusun Khittah Dakwah Islam Indonesia
Era perjuangan dakwah tahun 1980an, tantangan dakwah pun mulai dihadapkan dengan “tantangan struktural” yang lebih pada upaya “peminggiran” Islam seiring dengan berdirinya Central Strategy For Indonesia Studies (CSIS). Terlebih-lebih dicanangkannya “Akselerasi Modernisasi 25 Tahun” yang banyak mendompleng Master Plan Pembangunan Bangsa (MPB). Oleh karenanya, lahirnya Khittah Dakwah Islam Indonesia menjadi sangat tepat untuk menjadi penyeimbang sebagai strategi keummatan. Para tokoh ummat menyebutnya dengan Master Plan Pembangunan Ummat (MPBU) atau dikenal dengan sebutan “Buku Hijau”.
Qadhaya Ummat yang Wajib Dijawab
Ada banyak aspek yang menjadi tantangan dakwah yang wajib dihadapi, di mana tantangan-tantangan tersebut menuntut harus segera diurai dan diejawantahkan dalam program-program konkret keummatan.
Beberapa aspek yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
1. Aspek Sosial-Budaya; (maraknya sekularisme, materialisme dan nativisme).
2. Aspek Pendidikan; (adanya pandangan dikotomik terhadap ilmu).
3. Aspek Dakwah dan Informasi (terjadinya fenomena rekayasa sosial, penggiringan opini dan perang media).
4. Aspek Pengembangan Jamâah dan Ukhuwwah; (belum optimalnya fungsi jam’iyyah sebagai kekuatan jamaah yang mampu merakit, merekat dan meroketkan ummat).
5. Aspek Sosial-Politik; (adanya penurunan peranan politik Islam dan terjadinya rekayasa politik yang datang dari luar).
6. Aspek Ekonomi; (minoritasnya penguasaan terhadap ekonomi kuat yang tidak sebanding dengan mayoritas ummat Islam).
7. Aspek Ilmu dan Teknologi: (belum optimalnya Islamisasi ilmu yang mengakibatkan munculnya gelombang rasionalisme, di mana ilmu dan teknologi seolah menjadi/ sebagai “Tuhan”).
Dari aspek-aspek inilah, gerakan penyelamatan ummat harus dilakukan dengan mengacu pada pedoman dakwah yang sisebut Khittah Dakwah Islam Indonesia (KDII).
Tiga Pilar Dakwah dan Benteng Ummat
Untuk melakukan antisipasi terhadap berbagai kerusakan, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Adapun yang dilakukan Mohammad Natsir, lebih ditujukan kepada bagaimana memaksimalkan dan mengoptimalkan peran apa yang disebut “tiga benteng ummat” sebagai pilar dakwah.
Tiga pilar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Masjid; Sebagai institusi pendidikan, pembinaan dan markaz peradaban yang menyeluruh, di mana dari tempat ini diharapkan dapat melahirkan masyarakat terdidik dan pembelajar.
2. Pesantren; Diharapkan menjadi tempat persemaian untuk melahirkan kader-kader ulama yang mutafaqqih fied dîn.
3. Kampus; Diharapkan menjadi tempat lahirnya kader-kader ummat berbakat, insan ûlul albâb yang bertanggung jawab atas ilmu dan agamanya.
Amal Dakwah Tiga Pilar yang Progresif dan Elegan
Berbekal pendekatan semangat dakwah yang mampu menyapa, menata dan membela hingga mampu berlabuh di hati ummat. Amal dakwah tiga pilar, dirasakan betul hasilnya dari sebuah ikhtiar perjuangan yang panjang.
1. Lahirnya aktivis-aktivis Masjid (baik Masjid umum atau pun Masjid kampus). Berdirinya Ikatan Keluarga Masjid Indonesia (IKMI) bersama tokoh-tokohnya merupakan salah satu contohnya dalam mengorganisir keluarga Masjid.
2. Adanya shilaturrahim dan sinergi dakwah antar Pesantren se-Indonesia, guna saling tukar fikiran dan informasi diinisiasi dengan lahirnya Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) bersama tokoh-tokohnya.
3. Rekruitmen du’ât kampus yang bertebaran di seantero jagat kampus tanah air; ITB, IPB, UNPAD, IKIP, UI, UNAIR, UNHAS, UIKA dan kampus-kampus lainnya baik Negeri atau pun swasta, telah melahirkan sejumlah tokoh militan dan progresif yang memainkan ritme dakwah secara harmoni dan elegan.
4. Pengiriman duta-duta dakwah ke seluruh pelosok tanah air terus digalakkan secara masif, bahkan kini sudah menjelma lembaganya berupa Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir.
5. Pengkajian terhadap pemikiran dan riset dakwah masih tetap ditekuni, di mana menghadang arus ghazwul fikri dan menangkal lajunya gerakan-gerakan destruktif (al-harakât al-haddâmât) masih digelutinya.
6. Pengiriman pelajar ke negeri-negeri Muslim, termasuk mendorong KSA untuk membuka cabang Jâmi’ah Imam Su’ud (LIPIA) di Jakarta dan kerjasama-kerjasama antar negara dijalinnya.
Tentu, masih banyak lagi amal-amal dakwah lainnya yang tidak dapat dituangkan dalam ruang singkat ini. Yang jelas, ciri-ciri berikut ini; mengawal aqidah ummat, menegakkan syari’ah Islam, merekatkan ummat dengan ukhuwwah, mengawal keutuhan NKRI dan membangun solidaritas ummat menjadi karakter yang melekat dalam gerakan dakwahnya.
Pengakuan Tulus Bagi Sang Khâdimul Ummat
Ada banyak kesaksian tulus yang menjadi saksi dalam kehidupan dakwah dan perjuangannya; mulai dari tokoh dunia, pemimpin negara, ulama, tokoh kemerdekaan, tokoh nasional, insan akademik, hingga orang biasa.
Di antaranya, kesaksian Raja Faishâl bin ‘Abdul ‘Aziez rahimahullâh yang menganugerahkan King Faishal Award karena jasa-jasanya untuk ummat. Para ulama dunia sangat mengenal dan menghormatinya. Seorang Syaikh Prof. Dr. Yûsuf al-Qaradhawy rahimahullâh tidak dapat menyembunyikan kekagumannya, seraya bertutur: “Di Indonesia, sejak pertiga abad yang lalu telah berdiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dengan pimpinan lelaki pejuang Allâhu yarham Dr. Mohammad Natsir yang tegar menghadang gerakan kristenisasi besar-besaran yang bertujuan mengkristenkan Indonesia dalam waktu 50 tahun seperti tersebut dalam rencana mereka.”
Kekaguman dan kesaksian lainnya dari handai taulan (dalam dan luar negeri), bahkan lawan-lawan politik dan pemikirannya (baik sesama Muslim atau bukan), mereka sangat terkesan oleh sang tokoh ini.
Ikhtitâm
Tiada gading yang tak retak, paparan singkat “generasi bocah” yang jauh panggang dari pada api ini tak mungkin melepaskan dahaga jiwa untuk lumrahnya sebuah bahasan ideal. Namun setidaknya, amanah hikmatul kibâr wa hamâsatus syabâb telah tertunaikan.
Dengan demikian, ungkapan emas Syaikh Dr. Musthafa As-Syibai (ulama dan mujahid Syria) terjawab sudah: “Berlebihan dalam nostalgia masa lalu, itu tanda orang pemalas. Sebaliknya, meremehkan masa lalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, itu tanda orang bodoh.”_
Lahâ mâ kasabat wa lakum mâ kasabtum … Gharasas sâbiqûna fa akalna … Afalâ naghrisu liya’kulal lâhiqûna
“Orang-orang terdahulu sudah menanam, lalu kita pun memetik hasilnya. Akankah hari ini kita mampu menanam, hingga hasilnya bisa dipetik oleh generasi yang akan datang?” … Allâhummasyhad
Walladzîna jâhadû fienâ lanahdiyannahum subulanâ
__________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.