MEMAKSIMALKAN MADRASAH ORANG TUA (Ikhtiar Wajib Belajar di Zaman Corona)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Membincangkan peran ayah dan peran ibu, tentu sangatlah mulia. Namun akan lebih mulia apabila peran keduanya dilihat dari sisi yang lebih menonjolkan sentuhan pemeliharaan keturunan (hifzhun nasab) dalam bahasa fiqih, atau pelestarian generasi (naqlul ajyâl) dalam bahasa sosial, yang keduanya dikaitkan dengan pemeliharaan agama (hifzhud dîn). Karena dengan agamalah semuanya menjadi bernilai dan memiliki kedudukkan yang amat terhormat.
“Indung nu ngandung jeung bapa nu ngayuga, indung tunggul rahayu jeung bapa tangkalna darajat”. Seorang ibu, dialah sosok wanita yang mengandung kita, dan bapak karena sosok dialah yang menyebabkan kita menjadi ada -atas idzin Allah ‘azza wa jalla-. Ibu adalah puncaknya kebahagiaan dan bapak adalah perantara kemuliaan. Karena itulah agama mengajarkan birrul wâlidain dan akrim abâka wa ummaka, “hormatilah kedua orang tuamu”.
Demikian pula dengan do’a yang selalu terlantun: “Rabbanâ hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a’yunin waj’alnâ lil muttaqîna imâman”. Semua ini menunjukkan betapa eratnya hubungan madrasah orang tua dan lahirnya generasi pemimpin masa depan. Artinya, “pendidikan rumah” itu sangat dahsyat pengaruhnya dalam perkembangan anak-anak kita. Karenanya tidak ada alasan sedikit pun untuk “mengerdilkan” peran orang tua di rumah; pasangan kita, terlebih ibu kita atau istri kita.
Sungguh tuduhan yang tidak berdasar, bila “wanita rumahan” atau “ibu rumah tangga” dianggap sebagai penghalang kebangkitan sebagaimana yang mereka dakwakan. (Lihat bantahan Muhammad Mahdi al-Istanbuly terkait hal ini, dalam Nisâ’ Haular Rasûl war Radd ‘alâ Muftariyâtil Mustasyriqîn, 1992: hlm. 369).
Lupakah kita, gerakan emansipasi wanita di beberapa negara mulai menunjukkan kegagalannya. Mereka ramai-ramai menuntut pulang ke rumah suaminya, mulai “sesak” dengan kemerosotan moral yang semakin mengalami titik nadir. Contohnya di Swedia, 100 ribu wanita melakukan demonstrasi dengan mengajukan petisi kepada pihak pemerintah terkait hal itu. (Lihat: Al-Qaradhawy, Marâkidzul Mar’ah Fil Hayâtil Islâmiyyah dalam Panduan Fiqih Perempuan, 2004: hlm. 90).
Dalam hal ini, do’a dan pendidikan yang begitu erat, jelas tertuang dalam ayat berikut ini: “Wakhfidh lahumâ janâhad dzulli minar rahmah wa qul Rabbirhamhumâ kamâ rabbayânî shagîran”; Dan rendahkanlah dirimu dengan kasih sayang di hadapan mereka berdua (orang tua), dan katakanlah ya Tuhanku sayangilah mereka berdua sebagaimana keduanya menyayangiku saat aku masih kecil.” (QS. Al-Isrâ/ 17: 24).
Bila dicermati, ayat ini banyak mengandung pelajaran yang sangat berharga dalam melahirkan fiqih pendidikan yang berbasiskan “pola asah, asih dan asuh” secara sekaligus. Di dalamnya mengandung ajaran yang sangat luhur dalam melahirkan manusia-manusia beradab. Adapun kandungan ajaran yang dimaksud adalah:
1) Ayat ini mengajarkan bagaimana seseorang dapat memuliakan orang tua dengan merendahkan diri di hadapan keduanya, sekaligus selalu mendo’akannya.
2) Kata Rabbi, merupakan kata permohonan dan sekaligus menjadi tujuan mengapa anak manusia harus dididik.
3) Untaian do’a ini menunjukkan bahwa “kasih sayang” merupakan unsur ruhani pendidikan dan pengajaran yang paling pokok.
4) Kalimat rabbayânî, menunjukkan kejelasan definitif dan proses dari pendidikan itu sendiri.
5) Kata shaghîran merupakan kata yang menunjukkan bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini.
Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan dalam paparan masing-masing berikut ini:
Pertama; Mengisyaratkan, betapa orang tua (wâlidain) adalah guru terbaik dalam mengajarkan pokok-pokok adab. Sangatlah tepat bila dikatakan mereka itu guru pertama dan utama (madrasatul ûlâ wal aulâ).
Kedua; Menegaskan kejelasan tujuan pendidikan, bahwa mengenalkan nilai-nilai tauhîd merupakan target asasi mengenalkan para pembelajar kepada Rabbul ‘âlamîn yang menciptakan mereka. Sungguh tepat para ahli menyebutkan, fahaqîqatul ‘ilmi mâ tûshalul ma’lûm ilal ‘alîm, bahwa yang disebut hakikat ilmu itu menyampaikan apa yang diketahui (objek pengetahuan) kepada yang Maha tahu (subjek pengetahuan, yakni Al-‘Alîm yang menciptakan pengetahuan itu sendiri).
Ketiga; Mengajarkan bahwa ajaran kasih sayang (rahmah) merupakan unsur ruhani paling penting yang dapat melahirkan suasana belajar-mengajar lebih nyaman, khidmat dan semua yang terkait (orang tua murid, murid, penyelenggara pendidikan dan praktisi pendidikan) senyawa dalam keikhlasan mengawal pendidikan. Inilah yang selalu ditanamkan para tokoh pendidikan klasik khususnya (semisal Abu Hamid al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Tuhfatul Wadûd bi Ahkâmil Maulûd). Menurut mereka, terjadinya koneksitas keberkahan dalam belajar akan terwujud apabila kasih sayang hadir dalam suasana tersebut.
Keempat; Menguraikan proses pendidikan sesuai dengan makna tarbiyah yang meliputi: tumbuh, berkembang dan membimbing. Artinya, dengan pendidikan inilah, manusia bisa tumbuh dan berkembang melalui bimbingan pembelajaran.
Kelima; Menekankan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa keemasan (golden age) dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, di samping masa fithrah yang masih sangat original.
Disertai bimbingan do’a dan terus ikhtiar maksimal membersamai mereka, generasi Rabbâni senantiasa akan lahir di tengah-tengah kita dengan tidak memandang di zaman seperti apa kita berada (termasuk zaman corona di mana wabah tengah merajalela). Dengan “dirumahkannya” anak-anak kita, semoga menjadi perantara dan kesempatan berharga dalam membangun pembelajaran dan pendidikan secara bersama-sama. Âmîn yâ Rabbal ‘Âlamîn …
_____
*) Makalah ini ditulis oleh Pimpinan Pesantren Persatuan Islam No. 81 Cibatu Garut dalam rangka “Merawat Pembelajaran Merangkai Kebersamaan” sesama Guru, Managemen Sekolah, Orang Tua dan Peserta Didik.