SOCIAL DISTANCING; “KARENA CINTA, SEMENTARA KITA SALING MENJAUH …”
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Sekalipun istilahnya berubah dari social distancing menjadi physical distancing, sebagaimana Badan Kesehatan Dunia WHO menginformasikan, dalam hal ini masyarakat masih dapat berinteraksi sosial dengan orang lain tanpa bertemu tatap muka. Upaya ini ditempuh guna membatasi diri seseorang dari penyebaran virus corona Covid-19 yang semakin mengalami kenaikan yang memuncak.
Meminjam kata-kata bijak sosiolog besar Ibnu Khaldun (pemilik kitab Muqaddimat) yang menuturkan: “Al-Insânu madaniyyun bit thab’i” bahwa manusia itu makhluk sosial yang satu sama lain tidak dapat berpisah dan saling membutuhkan. Maka keberadaan hubungan antar manusia, dalam kondisi apa pun merupakan sebuah keniscayaan.
Namun apa jadinya, apabila kehidupan sosial yang secara alami manusia hidup bergerombol, berkerumun, berkumpul dan berkomunikasi dengan sesamanya terhalang dengan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak boleh mereka saling berhubungan langsung satu sama lain. Yang menjadi penghalang itu, di antaranya terjadinya wabah yang mengkhawatirkan (al-wabâiyyah al-khâthirah) dan tidak dapat dikendalikan.
Dalam perspektif agama yang menjunjung fithrah, memiliki pandangan yang cukup unik terkait hakikatnya; di mana manusia yang karakternya berkumpul itu terdiri dari manusia secara fisik (physic, khalq) dan manusia secara non fisik (psychis, khuluq). Sederhananya, lahir dan batinnya. Lahir berarti jasad atau badan, batin berarti ruh atau jiwanya.
Ketika datangnya wabah, maka para ahli di seluruh dunia sepakat bahwa memutus mata rantai penyebaran dan penularan dengan cara “menghindari” dan “menjauhi” kerumunan masyarakat manusia adalah cara efektif di antara sekian cara-cara lainnya.
Lalu, bagaimana dengan ibadah jum’at, shalat lima waktu, umrah dan haji, serta majelis ilmu dan beragam aktivitas lainnya? Sudah tentu, jawabannya tidak mudah begitu saja, melainkan ada timbangan-timbangan yang wajib mengedepankan mashâlih dan mafâsid-nya. Yaitu pertimbangan baik dan buruk dengan segala efek yang ditimbulkannya.
Di sinilah peran ahli ilmu yang tidak kecil nilainya. Lahirnya kitab Al-Mustashfâ Imam Al-Ghazâli, Al-Muwâfaqât Imam As-Syâthibi, Al-Qawâid Imam Al-Juwaini, Al-Asybâh wan Nazhâir Imam As-Syuyûthi dan Al-Furuq Imam Al-Qarâfi hadir di tengah-tengah persoalan yang sedang dihadapi. Maka lahirlah fiqhul wâqi’, di mana mengedepankan dalil hukum semata tidaklah dianggap cukup tanpa melihat kenyataan yang tengah terjadi di lapangan.
Demikian pula apa yang terjadi pada kaum Muslimin saat ini, wabah yang terjadi telah melahirkan pandangan-pandangan hukum yang berbeda; antara yang mengedepankan dalâlatun nash secara langsung terkait keutamaan masjid, keutamaan jum’at, keutamaan shalat berjamaah dan lain-lainnya dengan yang mengedepankan dalâlatul fiqh dengan segala alasan hukumnya (‘illatul hukmi). Bolehnya shalat zhuhur sebagai pengganti shalat jum’at, shalat di rumah itu lebih baik untuk menghindari bahaya, belajar di rumah lebih baik ketimbang menghadiri majelis ilmu dan lain-lain. Semua itu, tidak lepas dari pandangan-pandangan fiqih yang bersandar pada kaidah-kaidah mu’tabar para ulama. Dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih; “Menghindari kerusakan lebih diutamakan ketimbang kemashlahatan” merupakan salahsatu kaidahnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang ada, sisi lain yang wajib diketahui adalah keyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla menyayangi siapapun yang mencintai sesuatu karena Allah. Kaitannya dengan bahasan yang kita hadapi, adalah sikap lapang dada untuk saling memahami terhadap masalah yang dihadapi apabila sama-sama telah ditegakkan hujjah yang dapat dipertanggung jawabkan. Selama sikap kasih sayang ditunjukkan; menjaga tutur kata, bijak dalam bertindak dan berusaha memahami pandangan pihak lain, maka barakah Allah pun senantiasa menaungi mereka dengan rahmatNya. Tidaklah mereka berkumpul, melainkan karena Allah ‘azza wa jalla. Dan tidaklah mereka berpisah, melainkan karenaNya pula. Merapat karena cinta, menjauh pun karena cinta.
Benar, apa yang disabdakan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إن من عباد الله أُناساً ما هم بأنبياء ولا شهداء، يغبطهم الأنبياء والشهداء بمكانهم من الله، قالوا: يا رسول الله من هم؟ قال: هم قوم تحابوا بروح الله على غير أرحام بينهم، ولا أموال يتعاطونها، فوالله إن وجوههم لنور وإنهم لعلى نور، ولا يخافون إذا خاف الناس. وقرأ هذه الآية: أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ada orang-orang di antara hamba-hamba Allah yang bukan Nabi bukan pula syuhada; Keduanya akan merasa iri pada kedudukan mereka di sisi Allah. Orang-orang pun bertanya: Beri tahu kami wahai Rasul, siapakah mereka? Dia menjawab: Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan semangat karena Allah, bukan karena tali kekerabatan dan bukan pula karena menginginkan harta. Maka demi Allah, wajah mereka akan sangat bercahaya. Mereka pun tidak memiliki rasa takut ketika umumnya manusia merasa ketakutan. Lalu Nabi membaca: Alâ inna auwliyâallâhi lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn; Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati.“ [Yunus/ 10: 62]. (Lihat: Shahîhut Targhîb wat Tarhîb: 3026)
Dalam hadits yang lain, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من أحب لله، وأبغض لله، وأعطى لله، ومنع لله فقد استكمل الإيمان
“Siapa saja yang mencintai karena Allah, marah karena Allah, memberi karena Allah, dan melarang/ menahan pun karena Allah, maka sungguh imannya telah sempurna.” (HR. Abû Dâwud dan Tirmidzi, hadits ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâni)
Kembali pada masalah kita bersama, terkait upaya mencegah dan memutus penyebaran wabah, semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan solusi terbaik dalam menghilangkannya. Dan dengan rahmatNya pula, kita diberikan kelapangan dan kemampuan untuk dapat menghadapi seluruh problema yang ditimbulkannya. Wallâhul musta’ân
_____
*) Goresan dan jentikan jemari ini ditulis dalam rangka turut andil Memutus Mata rantai Penularan Wabah Coronavirus Covid-19