DA’WAH HARUS TETAP MELANGKAH WALAU DI TENGAH MUSHIBAH
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara sekian nasihat Pak Natsir (sebutan akrab dan familiar Allâhu yarhamh Mohammad Natsir) terkait zaman, beliau seringkali mengingatkan dengan ayat berikut ini:
إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikanNya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS. Âlu ‘Imrân/ 3: 140)
Di samping itu, ada hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang zaman yang terus berubah sebagaimana sabda nabiNya:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ. السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ؛ ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
رواه البخاري
“Sesungguhnya zaman terus beredar sesuai ketetapan Allah saat menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada 12 bulan, di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulan berurutan; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, juga bulan Rajab yang ada di antara Jumadal Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhâri)
Mungkin ini yang sering disampaikan ayahanda Ustâdzunal Fâdhil H. Syuhada Bahri tentang tiga pesan penting Allâhu yarhamh pada kader-kader da’wah; pentingnya meluruskan nawaitu (yakni niat yang wajib dijaga), rajin bertanya pukul berapa sekarang? (yakni senantiasa mengingatkan akan situasi dan kondisi zaman yang senantiasa berubah) dan harus mengingat jalan pulang (yakni hakikat kehidupan alam akhir yang akan dan sedang kita tuju).
Lebih lanjut, di antara yang penting kita cermati dari tiga hal di atas, adalah persoalan da’wah yang harus tetap berjalan dalam situasi zaman bagaimana pun. Khususnya wabah yang tengah melanda dunia dan bumi tercinta.
Masalah penting yang ingin diambil dalam tulisan ini adalah, bagaimana pun kondisi negara dan keadaan bangsa, situasi apa pun yang tengah terjadi di dalamnya, satu hal yang senantiasa diingat, gerakan da’wah harus tetap melangkah. Mengapa demikian? Sebab gerakan da’wah tidak hanya diperlukan oleh sebuah bangsa ketika bangsa itu berada dalam keadaan aman dan damai saja, melainkan juga diperlukan ketika bangsa itu berada dalam keadaan susah. Dengan kata lain, baik saat tertimpa mushibah maupun ketika mendapatkan nikmat, da’wah tetap diperlukan.
Ketika sebuah bangsa sedang mendapatkan mushibah, baik berupa bencana, kekacauan politik dan keamanan, kemiskinan, pengangguran dan mushibah-mushibah lainnya, maka tugas da’wah adalah mengingatkan bangsa itu untuk menghadapi kesusahan dengan kesabaran. Dengan demikian, mushibah yang datang tidak membuat bangsa tersebut berkeluh kesah atau bahkan berputus asa dari rahmat Allah ‘azza wa jalla. Namun sebaliknya, semua mushibah itu dihadapi dengan sebuah keyakinan bahwa Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuanny. Sehingga yang diharapkan adalah penduduk bangsa itu menerimanya dengan lapang dada untuk kemudian segera bangkit memperbaiki keadaan.
Dengan mendorong kesabaran itulah, maka seluruh penduduk bangsa akan mendapatkan kebaikan dari Allah yang Maha menimpakan segala sesuatu. Bangsa itu tidak akan hancur lebur, tidak menjadi gagal dengan datangnya wabah, tapi akan terus berikhtiar dan berjuang agar dapat keluar dari petaka yang melanda, serta terus memperbaiki diri.
Jika sebuah bangsa selalu mensikapi mushibah dengan kesabaran dan mensikapi nikmatNya dengan penuh kesyukuran, maka bangsa itu sudah menjadi bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla. Dalam sebuah hadits, Rasûlullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara kaum mukmin; Sesungguhnya semua perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak akan terjadi kecuali bagi orang beriman. Jika ia di anugerahi nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya, jika ia tertimpa mushibah ia bersabar maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang, da’wah tetap diperlukan oleh sebuah bangsa. Tujuannya jelas, agar keadaan senang dan susah itu tetap disikapi oleh bangsa itu dengan keimanan, sehingga keduanya menghasilkan kebaikan bagi bangsa itu. Sebab jika sebaliknya, kesusahan disikapi dengan ketidaksabaran dan kenikmatan disikapi dengan kekufuran, akibatnya sama-sama fatal dan dapat mendatangkan adzabNya.
Agar negeri ini tidak mendapatkan adzab Allah, satu-satunya jalan adalah terus menerus menyerukan da’wah dengan berbagai cara yang kita bisa dan mampu kita lakukan. Dengan begitu, berarti kita semua telah menyelamatkan Indonesia dengan da’wah. Semoga Rabbul ‘Âlamîn menjaga kaum Muslimin dan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Allâhumma bârik lanâ wa bârik bilâdanâ … Âmîn yâ Rabbal ‘Âlamîn.
____
*) Ditulis pada hari Senin, 20 April 2020 bakda Zhuhur dengan mengadaptasi kembali beberapa petikan Taujih Da’wah Al-Ustadz H. Syuhada Bahri tujuh tahun silam (2013).-