DAHSYATNYA SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA (Sebuah Perspektif Aqidah)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Membincang agama, berarti membincang Islam. Menyebut Islam berarti membicarakan inti ajaran Islam itu sendiri, yakni “kalimah thayyibah” Lâ ilâha illallâh yang dalam beberapa riwayat disebut sebagai kuncinya surga (miftâhul jannah). Betapa urgennya masalah prinsip ini, para ulama memasukkannya sebagai pokok agama (ashlud dîn) atau keyakinan pasti (‘aqîdah). Adapun misi utamanya adalah tauhîdullâh, yaitu “meng-Esakan Allah”.
Lebih dari itu, para ulama pun meyakini bahwa “meng-Esakan Allah” merupakan fithrah dakwah para Nabi dan Rasul. Seruan yang berbunyi:
يَقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُه ُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya.” (QS. Al-A’râf/ 7: 59, 65, 73, 85)
Kalimat tersebut disampaikan oleh Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Syu’aib dan para Nabi ‘alaihimussalâm lainnya kepada kaumnya masing-masing. Demikian pula Rasulullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam; 13 tahun lamanya menyeru kaumnya di Makkah, mengajak bertauhid dan meluruskan aqidah mereka. Hal ini dilakukan semata-mata karena tauhid merupakan asas utama dalam menegakkan agama dan membenahi keyakinan mereka demi kebahagiaan dunia dan akhiratnya.
Berikutnya, bagaimana seseorang dapat mengamalkan sikap beraqidah secara ‘ilmiyyah atau pun ‘amaliyyah?, dan mana saja yang termasuk dalam keduanya? Penyusun buku Fathul Majîd Lis Syarhi Kitâbit Tauhîd memberikan jawabannya dengan membagi Tauhid menjadi dua bagian:
1. Tauhîd ‘ilmi i’tiqâdi, disebut juga Tauhîd fil ma’rifat wal itsbât. Sebahagian menyebutnya Tauhîdul ‘ilmil khabari, yaitu: Tauhid yang berkaitan dengan pemahaman dan pengenalan terhadap Allah ‘azza wa jalla, asma’ dan sifat, perbuatan-perbuatanNya, serta qadha dan qadarNya. Sikap beraqidah semacam ini, lebih umum para ulama menyebutnya dengan Tauhîd rububiyyah al-asmâ’ wash shifât.
2. Tauhîdul irâdi at-thalabi, disebut juga Tauhîd fit thalabi wal qashdi, yaitu: Tauhid yang menjadi kehendak dan kebutuhan manusia kepada Allah ‘azza wa jalla, agar manusia sebagai makhluq dapat mengabdikan diri kepadaNya dengan amalan-amalan yang telah diperintahkan. Sikap beraqidah semacam ini, lebih umum para ulama menyebutnya dengan Tauhîd uluhiyyah atau ilahiyyah. Karena berhubungan erat dengan pengabdian hamba terhadap RabbNya, maka disebut juga dengan Tauhîd ‘ubudiyyah. (Lihat: Abdurrahman Âlu as-Syaikh, 1420: 1, hlm. 79 – 80).
Makna sederhananya, seseorang tidak dapat menunaikan Tauhid uluhiyyah dengan sempurna sebelum meyakini Tauhid rububiyyah serta asma’ dan sifatNya. Kesempurnaan Tauhid dapat terjadi apabila keyakinan i’tiqâdiyyah (keimanan/ aqidah) dapat seiring dan sejalan dengan keyakinan ‘amaliyyah (praktek pengabdian/ ibadah). Sejauhmana sinergi keduanya dapat berpadu?, Allah ‘azza wa jalla melukiskan dalam kalamNya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادِتِهِ أَحَداً
“Siapa yang mengharap perjumpaan dengan RabbNya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepadaNya.” (QS. Al-Kahfi/ 18: 110).
Al-Hâfizh Imam Ibnu Katsir rahimahullâh menjelaskan, bahwa syarat diterimanya sebuah amal adalah hendaknya seseorang ikhlash semata-mata mengharap ridha Allah dan beramal shalih, yakni benar dan mengikuti syari’ah Rasulullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Ibnu Katsîr, 1421: 3, hlm. 1753).
Kembali pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana termaktub dalam Pancasila, sejarah menunjukkan bahwa ada proses yang tak mungkin disembunyikan, bahwa kemunculannya bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, datang secara tiba-tiba. Melainkan hasil proses panjang “jerih payah” para pendiri bangsa dalam melahirkan kesepakatan tentang filsafat dan dasar negara sehingga menjadi dârul ‘ahdi was syahâdah atau dârul mîtsâq, yakni negara yang dibangun di atas perjanjian dan kesepakatan.
Beberapa proses itu terjadi benar adanya, seperti dijelaskan para tokoh panutan ummat dan bangsa berikut ini:
1. Pancasila sebagai dasar negara sudah tidak dipersoalkan lagi: “Menurut Undang-undang Dasar 1945 dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1). Tapi sudah menjadi kebiasaan untuk mengatakan bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Memang kelima-lima sila dari Pancasila itu terkandung dalam Mukkadimah UUD 45. Presiden Soekarno memperkenalkannya dengan istilah weltanschauung, yakni Falsafah negara.” (M. Natsir, Asas Keyakinan Agama Kami, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta: tp. tahun, hlm. 7)
2. Ketetapan MPRS menegaskan lagi apa yang termaktub dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi. Jadi, “Piagam Jakarta” itu bukanlah suatu yang “haram” untuk disebut-sebut dewasa ini atau kapan pun. Makanya sekarang kita mempunyai Undang-undang Dasar, adalah hasil dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, yang lahir antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa Piagam Jakarta dengan susunannya yang asli berfungsi “menjiwai” UUD 45 sebagai sumber tertib hukum dalam negeri kita ini. Sebagian dari refleksinya bertemu juga antara lain dalam pasal 29 UUD ayat 2. (Lihat: Asas Keyakinan, tp. tahun: hlm. 8)
3. Pada saat Presiden Soekarno mendekritkan kembalinya Undang-undang Dasar 1945, dekrit itu didahului dengan pertimbangan seperti berikut: “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Piagam Jakarta (tujuh perkataan) apakah dapat diartikan kembali pada Undang-undang Dasar 1945? Dekrit itu tidak mengubah Undang-undang Dasar 1945. Itu benar … Akan tetapi Undang-undang Dasar 1945 tidak akan berlaku lagi tanpa dekrit. Jadi, tiap perkataan dalam dekrit itu pasti ada artinya. Kalau hadiah itu sudah dikembalikan ummat Islam, maka ada kata-kata dalam dekrit itu yang mempunyai arti, yaitu: “Piagam Jakarta menjiwai Undang-undang Dasar 1945”. Memang sulit dikatakan dengan arti yang kongkret. Akan tetapi dengan mempergunakan perkataan “menjiwai” dengan kata-kata biasa saja, kita dapat mengatakan ada orang yang berjiwa besar atau berjiwa kecil. Begitulah untuk mengulangi lagi kata yang dengan jiwa besar diucapkan oleh Jendral Alamsyah, bahwa “Pancasila itu hadiah besar dari ummat Islam kepada Republik Indonesia”, maka kita juga dapat mengharapkan bahwa Undang-undang Dasar 1945 dapat dilaksanakan dengan jiwa Piagam Jakarta. (Mohammad Roem, Serial Media Dakwah No. 84, Mei 1981. Dinukil kembali M. Natsir dalam Asas Keyakinan, tp. tahun: hlm. 23-24)
4. Kesimpulan Prof. H. Muhammad Yamin, yang dianggap sebagai perumus pertama Lima Asas Negara di samping Soekarno, dan sebagai salah seorang penanda tanganan Piagam Jakarta dari pihak Nasionalis “sekuler”. Di dalam bukunya: Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Yamin mengemukakan postulat (Dalil V) sebagai berikut: “Ajaran filsafat Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata pembuka Konstitusi Republik Indonesia 1945 dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Konstitusi Republik Indonesia 1950 adalah seluruhnya berasal dari Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang ditanda tangani oleh sembilan orang Indonesia terkemuka, sebagai suatu pembangunan tinjauan hidup bangsa Indonesia bagaimana Negara Republik Indonesia harus dibentuk atas paduan ajaran itu.” (H. Endang Saefuddin Anshari, MA., Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia [1945-1949], Gema Insani Press, Jakarta: 1997, hlm. 128)
5. Pancasila sebagai Filsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama mejadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya. Tidaklah ada suatu agama, dan tidaklah ada satu faham (ideologie) yang dapat menjamin kesuburan Pancasila itu di Indonesia, melebihi Islam. Pertama, karena dijamin oleh kesatuan ajaran Islam itu sendiri. Kedua, karena pemeluk Islamlah yang terbesar di Indonesia. Dan percobaan mencuri jalan air menjamin suburnya Pancasila di Indonesia, adalah suatu tahsîsul ‘umyân, laksana rabaan-rabaan orang buta di malam gelap gulita. Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Media Dakwah, Jakarta: 1985, hlm. 39-40)
6. Maka untuk menjamin Pancasila marilah kita bangsa Indonesia yang mengakui Allah sebagai Tuhannya, dan Muhammad sebagai Rasul bersama-sama menghidupkan agama Islam dalam masyarakat kita. Anjuran kita ini sesuai dengan apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno di dalam pertemuan Pegawai-pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952: “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarekat Islam yang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto …”. Dan kita tambahkan: “Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu sejak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia. Kita tak usah kuatir Falsafat Pancasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk; Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Lihat: Urat Tunggang Pancasila, 1985: hlm. 40-41)
Dengan demikian sangat jelas, sekalipun pada awalnya kaum Muslimin harus menelan kenyataan dengan hilangnya tujuh kata dalam “Piagam Jakarta”, namun agama selalu mengajarkan pentingnya makna bersyukur dan kesabaran dalam mengarungi samudera perjuangan. Maka, “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun diterimanya dengan penuh lapang dada. Itu pun masih dinilai oleh sebahagian kalangan adanya rasa keberatan terkait kalimat “Yang Maha Esa” pada sila pertama, namun para tokoh ummat pun dapat menjawabnya. Hal ini sering dipetik Dr. Adian Husaini bahwa seorang penulis Kristen, I.J. Satyabudi, dalam bukunya yang berjudul “Kontroversi Nama Allah” [1994], mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Satyabudi menulis:
“Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”. Kata “Maha Esa” itu memang harus berarti “satu”. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun sila pertama ini.
Berarti, sekalipun tujuh kata yang ada pada Piagam Jakarta berganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, secara Ilmu Ushûlud Dîn atau Ilmul ‘Aqîdah masih bisa diterima. Sebaliknya, apa pun alasannya, apa yang telah menjadi “janji setia” dalam merumuskan dasar Negara sebagaimana Pembukaan UUD ’45 (18 Agustus 1945) sudah sama-sama diketahui dan sama-sama disepakati oleh semua elemen bangsa. Ketika ada upaya-upaya secara sepihak dalam melakukan perubahan terhadap apa yang telah disepakati itu sama halnya dengan melakukan “kudeta ideologis” yang bisa merobohkan keutuhan bangsa. Wallâhul musta’ân
_____
Penulis adalah: Kaprodi KPI STAI PERSIS Jakarta, Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat.