Oleh: Teten Romly Qomaruddien
A. Siirah Dzaatiyah Singkat Sang Maestro Dakwah dan Pemikiran
Pria yang lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Lembah Gumanti Alahan Panjang Solok Sumatera Barat ini, telah mengenal paham pembaharuan sejak masih remaja; selain menempuh Pendidikan Barat Algemene Middelbare school di Bandung tahun 1927 [HIS dan MULO ditamatkannya di ranah Minang, di samping sekolah Agama yang dipimpin Tuanku Mudo Amin kawannya Haji Rasul, dan mendapatkan pelajaran secara teratur dari Haji Abdullah Ahmad], Natsir muda pun menjadi anggota Jong Islamieten Bond [JIB] Cabang Bandung tahun 1928. Selain itu, mengajar agama di HIK [Sekolah Guru] dan MULO, serta aktif mengikuti pengajian Persatoean Islam sehingga mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokohnya, terutama Tuan Ahmad Hassan yang banyak membimbingnya. Perjalanan berikutnya, dalam waktu singkat Natsir pun mampu mengangkat Persatuan Islam menjadi organisasi modern yang diperhitungkan.
Perhatiannya yang begitu besar terhadap studi ke-Islaman, Natsir tumpahkan di majalah Pembela Islam, selain menyelenggarakan Pendidikan bagi anak-anak Muslim yang dibantu seorang dermawan bernama Haji Muhammad Junus. Dalam pengajaranya dibersamai oleh kawan-kawannya seperti Fachruddin al- Kahiri, juga Nur Nahar yang kemudian hari menjadi istrinya.
Di antara adab keilmuannya, adalah mengutamakan untuk senantiasa meminta pandangan dari para ulama dan intelektual yang lebih senior. Adapun guru yang sangat mempengaruhi pemikirannya, selain Tuan Ahmad Hasan yaitu Haji Agus Salim dan Syaikh Ahmad Soorkati. Satu kesannya tentang para gurunya itu, jika ditanyakan kepada mereka suatu masalah, mereka tidak langsung mengambil keputusan tentang masalah tersebut melainkan cukup dengan memberikan pengarahan tentang cara pemecahan masalahnya.
Setelah mengarungi perjalanan panjang samudera perjuangan dengan berbagai problematika dan tantangannya [baik sebagai ulama pejuang, negarawan handal, politisi santun, penulis hebat, mujahid dakwah multi talenta, termasuk di dalamnya membangun rumah dakwah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia bersama para ulama lainnya tahun 1967], Natsir pun dipanggil ke haribaan Allah ‘azza wa jalla pada tanggal 06 Februari 1993 di Jakarta.
B. Tafaqquh Fid Diin Mohammad Natsir
Berpegang terhadap Al-Qur’an dan Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan karakteristik utama Natsir dalam setiap menjawab permasalahan. Namun tidak dipungkiri, setiap pemahaman terhadap keduanya dapat melahirkan perbedaan pendapat. Tidak ada larangan agama terhadap ikhtilaaf yang dihasilkan oleh tafaqquh fid diin dan ijtihaad. Yang merusak keutuhan ummat, dan lantaran itu terlarang, ialah jumud dan tafarruq, beku dan tepecah belah. Kita sama sekali, tidak harus memilih hanya satu dari alternatif, beku atau pecah belah. Tidak ada yang harus dipilih antara jumud dan tafarruq. Kedua-duanya harus ditolak dan disingkirkan.
Sebagai seorang intelektual, Natsir sangat merdeka dalam menempatkan akal secara proporsional sehingga peluang pintu ijtihaad lebih terbuka dan mampu menghindari kejumudan berpikir. Dalam pandangannya, wahyu merupakan landasan tempat bepijak kehidupan keagamaan, sekaligus berfungsi sebagai rujukan yang mesti ditaati, baik masalah aqidah maupun ibadah. Sedangkan akal merupakan alat efektif dalam memahami ajaran agama. Akal hanya berperan menjelaskan tidak mesti menghakimi wahyu dengan aturan logika. Tetapi dalam masalah mu’amalah akal sebaliknya bekerja keras bahkan dituntut oleh wahyu untuk memecahkan berbagai problema kehidupan yang bersifat kontemporer yang tentunya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh wahyu.
C. Kebenaran dan Akal Merdeka
Hakikat kebenaran dalam Islam, adalah kebenaran mutlak yang datang dari Dzat yang Maha benar, yakni Allah ‘azza wa jalla. Natsir memberikan pandangan dalam hal ini sebagai berikut: ”Sudah tak syak lagi bahwa salah satu dari jasa Islam bagi manusia dan kemanusiaan ialah “mobilisasi akal”, pembukaan dan penggerakan akal manusia yang lama tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam perikehidupan rohani dan jasmani manusia. Bukalah Al-Qur’an di halaman mana jua pun. Sudah tentu akan terasa oleh tiap-tiap seseorang yang membacanya, bagaimanakah dorongan Islam yang tak kurang-kurangnya untuk memakai akal, mempergunakan pikiran sebagai satu nikmat Tuhan yang tidak ternilai harganya. Kita orang Islam diwajibkan memakai akal untuk memikirkan ayat-ayat Qur’an supaya mengerti akan maksud dan maknanya lantaran ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan untuk yang mau berfikir, mau mengambil makna, mau mengetahui, mau beristinbath, mengambil konklusi”.
Natsir membagi akal merdeka menjadi beberapa bagian: Pertama; Akal merdeka yang terpimpin. Adalah akal merdeka yang telah memerdekakan kaum Muslimin dari kekolotan yang membekukan otak, melepaskan kaum Muslimin dari kebekuan berfikir. Kedua; Akal merdeka yang tersesat. Adalah akal merdeka yang tidak mau tahu dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta membelokkan makna keduanya dengan menyesuaikan akalnya. Ketiga; ‘Akal merdeka yang lepas dari patokan agama. Yaitu akal yang merdeka dari spirit agama, di mana semua khurafat, semua bid’ah dan semua takhayyul dilogiskan dan dirasionalkan.
D. Manhaj ‘Aqidah Mohammad Natsir
Dalam pandangan Natsir, agama merupakan persoalan hidup dan mati [ultimate]. Oleh karenanya, Natsir menegaskan bahwa apabila manusia mau memperhatikan dengan seksama, mereka akan melihat dan mengetahui bahwa alam semesta, bahkan, pada diri manusia itu sendiri [jasmani rohani/ berlaku aturan-aturan “ayatullah”, yakni bukti-bukti yang menunjukkan adanya yang Maha Khaliq.
Dalam pandangan berikutnya; di samping akal memiliki wewenang dan mengetahui hakikat tujuan kehidupan, juga mengetahui akan adanya kehidupan akhirat. Dan apabila dikaji lebih mendalam, sangatlah jelas bahwa Natsir satu langkah lebih maju dibanding dengan aliran kalam rasional yang pernah ada.
Suatu hal yang unik jika dibandingkan dengan para pembaharu pada umumnya di dunia internasional, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya, bahwa Natsir masih tergolong penganut Ahlus sunnah wal Jamaa’ah yang setia, sekalipun tidak menutup mata untuk mengakui peran yang dimainkan kelompok rasional Islam seperti Mu’tazilah. Ia tetap kukuh menganut prinsip tauhid, qadha dan qadar sebagaimana dipahami kaum salaf, namun tidak menjadi penghalang dalam segala upaya pembaharuan.
E. ‘Aqidah Mohammad Natsir Dalam Perspektif Ilmu Kalam
Mengenai pemikirannya dalam bidang keagamaan; antara lain sikap dan perjuangannya tampak menembus dinding kejumudan, serta menepis suasana sikap taqlid yang tengah melanda masyarakat Muslim di tanah air, terutama pada masa-masa pertama abad dua puluh. Natsir dengan tegar menyuarakan pendirian dan sikap anti taqlid, serta berseru agar ummat tidak semestinya terikat kepada pendapat ulama terdahulu. Melainkan harus berupaya berfikir dan berijtihad dengan menggali ilmu ke-Islaman langsung kepada sumber pokok Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam memetakan pemikirannya, Natsir lebih menampakkan seorang ahli fikir mandiri dan moderat yang sangat menghargai pandangan pihak lain. Sekalipun pandangannya itu berbeda dengan pemikiran kalam pada umumnya, namun nyaris tidak di temukan Natsir merendahkannya. Hal ini terbukti dalam beragam karyanya yang sangat menghargai tokoh-tokoh ilmu pengetahuan [baik Timur maupun Barat]. Dalam pandangan Natsir, optimalisasi akal dengan segala keunikannya telah melahirkan orang-orang besar yang mampu menyingkap tabir ilmu pengetahuan [ilmu syar’i dan ilmu dunya].
Dari semua pandangan yang dipaparkannya, tidak lepas dari pengaruh pemikiran kalamnya yang sangat menjunjung tinggi wahyu, memberikan kemerdekaan akal, dan memberikan makna pentingnya keselarasan fithrah insani. Dengan demikian, terjadinya sinergi antara tafaqquh fid dien dan tafaqquh fin naas, merupakan orkestra kehidupan yang berjalin berkelindan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Disiplin dalam berpegang teguh kepada wahyu tidak berarti harus kaku, terbuka dalam menghargai akal tidak berarti harus kebablasan. Menjadi puritan tidak berarti harus ekstrim, menjadi modernis tidak harus menjadi liberalis.
Walladziina jaahaduu fienaa lanahdiyannahum subulanaa … Annaz zamaana qad istadaara … Qif duuna ra’yika fil hayaati mujaahidan innal hayaata ‘aqiedatun wa jihaadun.
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam [Komisi ‘Aqidah], Anggota KP3 & LDK MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI Pusat [Perwakilan Jawa Barat], Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta, dan Ketua Bidang Pemikiran & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah.