KETIKA HATI HARUS BISA MENJADI MUFTI
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Bukan perkara mudah, ketika seseorang harus menentukan sikapnya di kala hati gundah gulana. Banyak faktor yang mempengaruhi, mengapa sang primadona jasad ini sulit memecahkan persoalannya.
Meminjam istilah shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh, bahwa hati merupakan panglimanya tubuh [amiirul badan]. Walaupun ia hanya “seketul daging” [mudhghah] secara fisik, namun mengandung rekaman gerak batin yang tiada tandingnya; Apabila ia baik, baiklah seluruh tubuhnya. Sebaliknya jika ia buruk, buruklah seluruh jiwa raganya.
Karenanya, sangatlah wajar apabila ada ungkapan: “Jika pedang lukai tubuh, masih ada harapan untuk sembuh. Namun jika kata dan sikap lukai hati, kemana obat hendak dicari?”. Jadi, seberapa kuatkah ia, atau seberapa rapuhkah ia? Jawabnya tentu tak mudah, tergantung kualitas hatinya seperti apa.
Seorang maestro pengkaji hati, Hujjatul Islaam Abu Hamid Al-Ghazali menuturkan dalam Ihyaa ‘Uluumiddiin seperti berikut: “Mengumpamakan orang yang memiliki kebeningan hati nurani semisal orang yang memiliki cermin; selama cermin itu tehindar dari karatan dan kotoran, maka dengan cermin itu ia akan mampu melihat segala sesuatu. Sebaliknya jika kaca itu berkarat dan penuh debu, bahkan dibiarkan kotor, maka ia akan menjadi gelap dan akhirnya membuat binasa”. Syaikhul Islam Ibnu Qayyim mencoba memetakannya, bahwa hati yang kotor, sakit, bahkan mati tak mampu membangkitkan kepekaannya.
Kalau demikian, benar sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh shahabat Wabishah bin Ma’bad radhiyallaahu ‘anh dalam riwayat Imam Ahmad tentang dosa dan kebaikan, di mana Rasul menjawab: Wahai Wabishah! Istafti qalbaka wa istafti nafsaka ; “Tanyakan pada hatimu dan mintalah fatwa pada jiwamu!” [hingga 3X pernyataan]. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenteram dan hatimu tenang, sedangkan keburukan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tak tenteram dan hatimu gundah, sekalipun orang lain memberikan fatwa kepadamu.” [Lihat: Shahiihut Targhiib Lil Albani, 1734].
Kalaulah hati bisa terlihat warnanya, maka akan nampak jelas antara hati yang dilumuri fitnah [polesan kotoran] dan hati yang dihiasi cahaya [bimbingan iman]. Rasul panutan menggambarkan: ”Fitnah-fitnah itu menempel ke dalam hati seperti tikar yang dianyam, sebatang demi sebatang. Hati siapa yang senyawa dengannya, niscaya timbul noda hitam. Dan hati siapa yang mengingkarinya, niscaya timbul titik putih di dalamnya, sehingga menjadi dua hati [yang berbeda]. Yang satunya hati yang hitam legam seperti cangkir terbalik; tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali yang dicintai hawa nafsunya. Yang satunya lagi, hati yang putih bersih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan bumi.” [HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallaahu ‘anh]
Subhaanallaah wa tabaarakallaah … Misteri “hati bisa menjadi mufti” pun terungkap sudah, tak sembarangan hati seseorang mampu menjadi sandaran untuk dimintai fatwa oleh dirinya sendiri. Kalimat yang sering muncul di tengah-tengah obrolan, cengkrama, dan kegundahan kita ini, yakni “Tanyakan pada hatimu!!”. Ternyata, sangat membutuhkan perlindungan iman dan ketaqwaan yang harus terus terbina. Bukankah hati yang selalu berserah diri pada Rabbul khalqi, sangat berbeda dengan yang melepaskannya. Yaa Muqallibal quluub tsabbit qalbii ‘alaa diinika
✍️ Goresan di waktu Dhuha yang cerah (Kamis, 02 Juni 2022), respon jawaban atas nasihat yang dilayangkan mengawali pekan pertama Dzulqa’dah yang penuh berkah.