Senin, September 9MAU INSTITUTE
Shadow

BELAJAR MENANGIS SEBELUM TERTAWA (Catatan Angkot Sang Guru)

BELAJAR MENANGIS SEBELUM TERTAWA (Catatan Angkot Sang Guru)
Oleh:
Santri MAU Institute

Bisa tertawa dan menangis dalam rentang masa yang tidak jauh berbeda. Haru bisa bergulir menjadi pilu dalam pijakan radius yang sama. Begitulah siklus hidup manusia …
Luka kita sementara, sedih juga pasti ada ujungnya.
Sabarlah saja sejenak, walau terkadang rentetan peristiwa membuat kita serasa habis dipermainkan emosi. Tapi … Bukankah tidak ada rasa yang dipahat abadi dalam sanubari? Tidak ada duka yang diciptakan selamanya menetap dalam dada?

Maha suci Allah ‘azza wa jalla yang Maha mengatur setiap pertemuan, terlebih pertemuan yang membawa pada penyadaran diri … Kita tidak bisa meremehkan arti sebuah pengorbanan … Ya benar, pengorbanan yang menggambarkan kesungguhan perjuangan.

Guruku pernah berhikayat, ada dua kisah nyata yang qaddarallaah bersamaan, di mana peristiwa tersebut dialaminya langsung dalam perjalanan angkot yang selalu ditungganginya bersama para pelaku di Angkot Mikrolet 06/ 06A [Gandaria-Kampung Melayu] atau O1/ 01A [Kampung Melayu-Senen].

Pertama; Tentang seorang Bapak Tua penjaja koran di ibu kota yang sangat gigih menunjukkan ‘izzah diri jauh dari dugaan keterbatasan usia yang mulai renta. Di tengah hingar bingar ibu kota, dirinya seolah tidak peduli dengan keadaan metropolitan. Kini sang pejuang nafkah keluarga ini, masih menekuni jualan koran; Padahal lembar bacaan itu sudah banyak ditinggalkan orang banyak, karena mereka beralih ke berita-berita digital. Berarti, pada konsep rezeki, Bapak Tua itu tawakkalnya kuat. Menggantungkan harap dengan sebenar-benarnya hanya pada Allah yang Maha pemberi, dengan diiringi ikhtiar semampu yang bisa dilakukan. Itulah yang terjadi pada si Bapak Tua tersebut yang mengajarkan kita tentang hakikat bertahan hidup.

Kedua; Air mata belum sempat mengering, kata Guruku dirinya dikagetkan dengan peristiwa lainnya. Bagaimana tidak, seorang Bapak tuna netra yang sampai larut malam masih menumpang angkot berkalungkan kertas karton bertuliskan “Tissue Rp 3.500,-“. Setelah didekati dan diajak ngobrol sebagai sesama penumpang, rupanya sang Bapak yang sudah 57 tahun ini tengah berjuang mencari nafkah menghidupi dua anak dan istrinya [apalagi menurutnya, sang istri sudah lama sakit stroke]. Pertemuan semacam ini tentu hal biasa sebagai pernak-pernik kehidupan ibu kota. Namun menjadi luar biasa, ketika si Bapak bertutur tentang ilmu; Menurutnya, dirinya masih sengaja rutin (kadang sendiri, kadang rombongan dengan komunitasnya) sengaja menyempatkan hadir di majlis-majlis ilmu Jabodetabek. Maa syaa Allah, dengan semua keterbatasannya tidak pernah memadamkan semangatnya untuk duduk di majlis ilmu.

Sudah tentu, pemandangan ini merupakan teguran bagi siapa pun yang ujiannya belum seberapa tapi merasa jadi orang paling menderita di dunia. Sungguh, kita semua dibuat malu oleh keikhlasan dan ketulusan mereka.

Plot twist yang disajikan Guruku ini, semoga mampu memporakporandakan dan meluluhlantahkan perasaan dan jiwa kerdil kita. Semua ini wajib kita syukuri sebagai anugerah Allah ‘azza wa jalla yang tidak terkira nilainya. Semoga Dzat pemberi rezeki menunjukkan jalan keluar yang terbaik, dan kita diberikan kedalaman pemahaman [bashiirah] oleh-Nya untuk meraih pelajaran berharga [‘ibrah] yang sebanyak-banyaknya. Taqabbal minnaa yaa Razzaaq


✍️ Tulisan ini digoreskan, sebagai bahan tadabbur dan tafakkur dalam pembinaan Soul Healing RG-UG Pesantren Persatuan Islam No. 81 Cibatu Garut Jawa Barat

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!