MINAL HARAMAIN SANABDA’U; DARI DUA KOTA SUCI KITA MEMULAI
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Bagi Al-faqir, November kali ini merupakan bulan yang teramat istimewa. Selain sebelumnya mendapatkan kesempatan menjadi pemberi keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi terkait UU Perkawinan Tahun 1974, juga dapat hadir sebagai pemateri dan peserta sekaligus pada berbagai seminar tentang Melawan Gerakan Islamophobia, Memaknai Wasathiyyatul Islaam, Memotret Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah di Nusantara, Tajdiid dan Tawassuth dalam Narasi Islam Klasik dan Kontemporer, Moderasi Beragama dan Pintu Pemurtadan, hingga pembahasan Kemanusiaan dan Keberagamaan. Bahasan demi bahasan tersebut cukup dirasakan menggugah selera intelektual dan adrenalin pemikiran.
Selain itu, yang membahagiakan adalah bisa kembali menunaikan safar mubaarakah berupa umrah 2022 pasca bergelut dengan covid-19 lebih kurang dua tahun. Dan yang patut disyukuri, bimbingan umrah kali ini tidak lagi “sendirian”, melainkan dibersamai “anak mertua” yang baru dinikahi lebih dari satu pekan silam di kampung ranah pengabdian. Fa bi ayyi aalaai Rabbikumaa tukadzdzibaan …
Di antara goresan yang tertunda dan belum sempat diuraikan adalah: Mendamaikan Madzhab Pikiran dan Madzhab Perasaan, Resolusi Makkah; Menyatukan Jalan Pikiran, Memaknai Humanisme Dari Bocah Makkah, Belajar Menyusun Shaff dari Askar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Ketika Literasi Menyatukan Rasa, Raahah Baathiniyyah di Balik Safar Penuh Berkah, dan Dari Tadabbur Ayat Hingga Tafakkur Hayat. Sekalipun belum sempat ditorehkan, setidaknya terarsipkan dalam pikiran.
Sekadar mengikat ingatan dan menyimpan goresan tangan, ada baiknya apa yang terpendam itu dituangkan dalam ringkasan berikut:
1. Mendamaikan Madzhab Pikiran dan Madzhab Perasaan
Terkadang, sering kita alami di mana kita berada di antara persimpangan dua pilihan; haruskah mengedepankan pikiran, atau mendahulukan perasaan? Keduanya bukanlah perkara yang mesti dibenturkan, melainkan harus mampu disinergikan sejalan dengan fungsinya masing-masing. Apakah obyek situasinya lebih dominan membutuhkan alam pikir atau alam rasa. Jawabannya sangat tergantung pada kebutuhannya.
2. Resolusi Makkah; Menyatukan Jalan Pikiran
Secara umum, kita dapat melihat, bahwa ibadah haji atau pun umrah, merupakan rangkaian ibadah yang satu sama lain saling berkaitan dan membutuhkan pengorbanan. Kita bisa merasakan dan menyaksikan betapa antusiasme para jamaah dari berbagai suku bangsa seolah berlomba meraih keutamaan dengan semangat tinggi. Karena itu, mematuhi tuntunan dan bimbingan merupakan keniscayaan dalam menyukseskan kesamaan tujuan.
3. Memaknai Humanisme dari Bocah Makkah
Di antara sekian pemandangan yang menarik perhatian dari kehidupan bocah-bocah Makkah, adalah rasa ‘izzah diri yang dipelihara dengan baik untuk tidak menerima bantuan tanpa alasan. Mereka duduk termenung dengan menawarkan dagangan yang bisa dijual, walaupun hanya satu sachet tissue.
4. Belajar Menyusun Shaff dari Askar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
Terlepas dari plus minusnya, sebagai tamu Allah ‘azza wa jalla [dhayyifur Rahmaan] harus mengakui dengan jujur bahwa mengatur “orang hidup” itu bukanlah perkara mudah, apalagi jumlahnya jutaan manusia yang berbeda-beda bangsa dengan sifat dan karakter yang bineka. Dengan penuh keuletan dan kesabaran, tidak henti-hentinya para askar dan petugas Masjid Dua Kota Suci itu menuntun dan mengarahkan lautan manusia setiap detiknya. “Yaa hajj … Thariiq thariiq … Harrik harrik!!!”. Demikianlah teriakan mereka dengan suara khasnya mengatur para jamaah. Mulai dari pengaturan shaff shalat, hingga pengaturan di tempat-tempat potensi keramaian.
5. Ketika Literasi Menyatukan Rasa
Satu lagi yang membuat bahagia jiwa, adalah ketika literasi mampu menyatukan alam rasa dan pikiran. Satu asa, satu rasa, satu suara, dan satu usaha bisa benar-benar terwujud ketika ada yang menyatukannya menjadi senyawa dalam kebersamaan. Itulah kesamaan literasi yang mampu membawa semua perkara menuju muara kebahagiaan hakiki.
6. Raahah Baathiniyah di Balik Safar Penuh Berkah
Telah menjadi tradisi para penuntut ilmu terdahulu, di mana pengembaraan ilmu [rihlah ilmiyyah] menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Kesenangan batin [raahah baathiniyyah], itulah hiasan mewah yang mereka lekatkan pada sanubarinya dan mutiara berharga yang selalu mereka cari sepanjang hidupnya. Sungguh, pada setiap perjalanan ada harta karun peradaban yang tersimpan, menantang semua yang haus akan ilmu berlomba-lomba untuk memburunya. Maka pantaslah, apabila para ulama mu’tabar menamainya dengan pengembaraan penuh berkah [rihlah mubaarakah].
7. Dari Tadabbur Ayat Hingga Tafakkur Hayat
Sepenggal pepatah indah mengisyaratkan: “Hidup laksana penggalan cerita yang menggairahkan, maka janganlah sekali-kali menutup cerita pada episode yang mengenaskan”. Berjalanlah di muka bumi, lalu renungkanlah!!! Bagaimana Allah ‘azza wa jalla menimpakan akibat terhadap orang-orang yang suka mendustakan. Demikian isyarat Rabbani mengingatkan dalam kalamNya yang agung agar setiap insan mampu mensinergikan pentingnya merenungkan tanda-tanda kebesaranNya [tadabbur al-ayaat] dengan menghayati setiap gerak dalam siklus kehidupannya [tafakkur al-hayaat]. Wallaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad
✍️ Tulisan ini digoreskan sepanjang perjalanan Madinah-Jeddah seiring guyuran derasnya hujan yang membasahi bumi Jazirah Arabia (Selasa, 29 November 2022, Pukul 14.30-18.30 WSA).
Subhanalloh. Mabruk akh.
Ma’as Salamah waFii amanillah.
Umrah maqbulah wamabruurah
Aamiin
Alhamdulillah….
Alhamdulillah. Sae Tadz. Jazaakallohu khoer. Mohon izin share.