Senin, Desember 9MAU INSTITUTE
Shadow

UNTUKMU YANG TELAH MENDAHULUI (Sebuah Renungan Ta’ziyah Perjuangan)

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Semua orang yang pernah membaca sejarah Nabi akhir zaman, tentu mengenal dua peperangan yang pernah terjadi di masa awal Islam. Yakni dua peperangan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an untuk direnungkan, sebagai pelajaran berharga bagi siapa pun yang mau menggunakan akal pikiran. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Jika kamu [pada perang Uhud] mendapat luka, maka sesungguhnya kaum [kafir] itu pun [pada perang Badar] mendapat luka yang serupa. Dan masa [kejayaan dan kehancuran] itu Kami pergulirkan di antara manusia [agar mereka mendapat pelajaran]; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman [dengan orang-orang kafir] supaya sebagian kamu dijadikan-Nya [gugur sebagai] syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (Lihat: QS. Aalu ‘Imraan/ 3: 140)

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa sunnatul mudaawalah, yakni hukum alam terkait “perguliran waktu” berlaku dalam setiap perjuangan; Ada kalanya kaum Muslimin diuji dengan kemenangan, juga ada kalanya kaum Muslimin diuji dengan kekalahan. Yang menjadi catatan penting bukanlah pada sisi menang dan kalahnya, melainkan dilihat dari sisi sebab-sebab kemenangan dan sebab-sebab kekalahan. Dari sisi inilah para ahli sejarah [mu’arrikhuun], memaparkan dalam kitab-kitabnya, mengapa pada perang Badar kaum Muslimin menang, dan mengapa pada perang Uhud kaum Muslimin kalah.

Sebagaimana dijelaskan para ulama Tafsir, kepatuhan terhadap pemimpin, keikhlasan menjalankan tugas dan kekompakkan kaum Muslimin dalam menjalankan misi suci jihaad fii sabiilillaah benar-benar dirasakan sekalipun jumlah mereka tidak seimbang. Itulah perang Badar yang dinarasikan Al-Qur’an seperti halnya peperangan Thalut mengalahkan Jalut. Kam min fi’atin qaliilatin ghalabat fi’atan katsiiratan biidznillaah, yakni “Betapa banyak kelompok yang sedikit bisa mengalahkan kelompok yang banyak dengan idzin Allah”. (Lihat: QS. Al-Baqarah/ 2: 249).

Dalam hal ini, shahabat Al-Barraa’ radhiyallaahu ‘anh menuturkan: “Para shahabat Nabi yang mengikuti perang Badar berkata kepadaku, bahwa jumlah mereka sesuai dengan jumlah pasukan Thalut yang dapat menyeberangi sungai, yaitu 300 sekian orang.” Al-Barraa’ melanjutkan perkataannya: “Demi Allah, tidaklah pasukan yang dapat menyeberangi sungai dengan Thalut kecuali orang-orang yang mukmin.” (Lihat: Shahiih al-Bukhaari, Kitab al-Maghaazi, 7/ 290 no. 3957).

Sementara itu, apa yang terjadi pada perang Uhud merupakan potret ketidak patuhan prajurit kepada pemimpinnya. Barisan ashhaabut rumaat yang terdiri dari para pemanah jitu, mestinya tidak meninggalkan bukit sebagai tempat pertahanan Muslimin. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, mereka larut dalam euforia kemenangan yang masih semu dengan melibatkan diri larut bersama prajurit lainnya dalam pembagian rampasan perang [ghaniimah]. Kekuatan musuh pun dengan mudah menyerang Muslimin dengan serangan yang tidak terduga sebelumnya dalam keadaan pikiran yang telah terpecah.

Namun demikian, tidak ada peristiwa yang bergulir begitu saja tanpa hikmah di dalamnya. Tidak terkecuali “kekalahan perang Uhud”, yang di dalamnya para shahabat bisa belajar banyak untuk lebih baik lagi dalam menata perjuangan ke depan. Masuk Islam-nya shahabat Khalid bin Walid sebagai komandan prajurit musuh dikarenakan melihat langsung kegigihan prajurit Muslimin yang tersisa, kembalinya kejayaan pada setiap peperangan berikutnya sebagai pelajaran berharga dari perang Uhud, juga semakin bertambahnya kepatuhan kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi segala permasalahan yang dialami. Semua itu merupakan pelajaran berharga [‘ibrah] yang tidak ternilai harganya sebagai rambu-rambu maju dan mundurnya sebuah perjuangan.

Dalam lintasan peristiwa [hawaadiits] antara kedua perang itu, tersebutlah nama-nama bintang yang mengharu birukan sejarah; ‘Utsman bin ‘Affan, Anas bin an-Nadhr, Thalhah bin ‘Ubaidillaah, Hamzah, Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin ‘Umair ridhwaanullaah ‘alaihim ajma’iin. Tiga orang gugur sebagai syuhadaa’ [shahabat Anas, Hamzah, dan Mush’ab radhiyallaahu ‘anhum], shahabat Thalhah radhiyallaahu ‘anh terputus tangannya karena melindungi Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari sabetan pedang musuh. Adapun para shahabat lainnya, sebahagian terus berperang dan mereka selamat. Demikian petikan At-Tahriir wat Tanwiir karya Ibnu ‘Aasyuur menukilkan. (Lihat: islamweb.net 28/6/2006)

Sebagaimana dikuatkan rawi-rawi Imam Al-Bukhari [dari Muhammad bin Basyar, dari Muhammad bin ‘Abdillah al-Anshari, dari ayahnya, dari Sumamah, dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anh] terkait seorang shahabat bernama Anas bin Nadhr radhiyallaahu ‘anh yang menyebabkan turunnya QS. Al-Ahzaab/ 33: 23 berikut ini:

من ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبْدِيلا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada [pula] yang menunggu-nunggu. Dan mereka tidak merubah [janjinya].”

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinan, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas radhiyallaahu ‘anh yang menceritakan pamannya [yakni Anas bin Nadhr radhiyallaahu ‘anh] tidak ikut dalam perang Badar, lalu ia berkata, “Saya absen dari perang Badar yang merupakan peperangan yang mula-mula dialami oleh Rasulullaah dalam mempertahankan dirinya terhadap serangan kaum musyrik. Sungguh seandainya Allah memberikan kesempatan kepadaku peperangan yang lain melawan kaum musyrik itu, maka Allah benar-benar akan menyaksikan apa yang bakal aku lakukan dalam perang tersebut.” Anas pun melanjutkan kisahnya, bahwa ketika pecah perang Uhud dan pasukan kaum Muslimin terpukul mundur, Anas bin Nadhr radhiyallaahu ‘anh berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta maaf kepada-Mu dari apa yang dilakukan mereka [yakni kawan-kawannya] dan aku berlepas diri dari apa yang didatangkan oleh mereka [yakni kaum musyrik].” Kemudian ia maju dan berpapasan dengan Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu ‘anh sebelum menuju perbukitan Uhud, dan Sa’ad pun berkata, “Aku ikut bersamamu.” Sa’ad bin Mu’adz menceritakan bahwa ia tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas bin Nadhr. Setelah Anas gugur, ternyata di tubuhnya terdapat luka-luka sebanyak 80 luka akibat sayatan pedang, tusukan tombak, dan lemparan anak panah. (Lihat: Imam At-Thabari dalam Tafsirnya, Maktabah Elektronik Jaami’ah Maalik Su’ud, KSA).

Dengan merenungkan sirah singkat yang telah dipaparkan, ada narasi kunci yang menjadi benang hijau dalam perjuangan; menghadap Dzat yang Maha pencipta lebih awal gugur di medan laga, atau menanti giliran untuk dipanggil dalam keadaan istiqamah berjuang merupakan komitmen hidup seorang pejuang sejati. Berbahagialah mereka yang telah mewakafkan diri dalam barisan ini, yaitu barisan orang-orang yang telah menjual jiwa raga dan harta mereka untuk Allah dan rasul-Nya.

Tidak ada balasan yang setimpal dengan pengorbanannya selain surga Allah ‘azza wa jalla. Kalaulah mereka mampu mempersembahkan sesuatu yang terbaik sekalipun harus berkuah darah dan kehilangan nyawa, lalu amal manakah yang layak kita banggakan ketika kita menghadap Rabbul ‘Aalamiin. Innallaaha isytaraa minal mu’miniina anfusahum wa amwaalahum bi anna lahumul jannah

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

  • Unsil Habieb Mansur

    Ma syaa Allah … senang bacanya dan banyak memberikan pengetahuan tentang tokoh-tokoh Islam yg patut diteladani dan harus ditiru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!