Selasa, September 10MAU INSTITUTE
Shadow

PETAKA SYAHWAT ITU BERMULA DARI COMPREHENSIVE SEXUALITY EDUCATION (Menimbang Ulang PP 28/ 2024)

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Sebagaimana viral dalam pemberitaan media, tanggal 26 Juli 2024, Presiden RI Joko Widodo telah menanda tangani Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di antaranya tentang kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, pelayanan aborsi dan konsepsi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggung jawab sebagaimana tercantum dalam Pasal 103 ayat (4) huruf e, Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, serta Pasal 129 ayat (2) huruf d. (Lihat: Forum Keadilan.Com, Kamis 1 Agustus 2024).

Dalam pemberitaan yang berbeda, Wakil Presiden RI, Prof. K.H. Ma’ruf Amin [dalam keterangan persnya di Bantul Yogyakarta, 7/8/2024] menegaskan, bahwa: “Dalam penerapan PP, selain nantinya memerlukan aturan teknis terkait pelaksanaannya, juga diperlukan dengar pendapat yang mendalam dengan berbagai pihak tidak hanya di bidang kesehatan. Masih menurutnya, harus melibatkan aspek lain terutama aspek keagamaan.” (Lihat: Humas wapresri.go.id).

Beragam tanggapan pun bermunculan dari berbagai pihak, terutama dari ormas-ormas keagamaan hingga lembaga-lembaga peduli keluarga seperti halnya Aila Indonesia yang telah melayangkan Pers Rilisnya tertanggal 6 Agustus 2024 yang ditanda tangani Rita H. Subagio sebagai Ketuanya. Tidak terkecuali, Komisi X DPR RI yang diwakili Abdul Fikri Faqih mengecam keras terbitnya peraturan tersebut karena tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama.

Pihak Kementrian Kesehatan yang diwakili Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Siti Nadia Tarmizi telah memberikan klarifikasinya; bahwa yang dimaksud pemberian alat kontrasepsi untuk remaja dan pelajar, dimaksudkan tidak ditujukan kepada semua remaja, melainkan remaja yang sudah menikah dengan alasan menekan angka kematian ibu dan anak dikarenakan pernikahan dini. (Lihat: Media Indonesia, 6 Agustus 2024).

Sekalipun ada konfirmasi seperti itu, tidak berarti masalah dianggap selesai. Melainkan perlu adanya upaya keras dari berbagai penentu kebijakan dalam membendung “petaka syahwat” yang akan ditimbulkannya. Niat baik dengan pandangan sepihak yang hanya mengedepankan sisi sosio-humanistik belum tentu menjadi solusi kemaslahatan, sebelum diadakan uji materi oleh pihak-pihak terkait dengan berbagai perspektif. Dalam konteks negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Sila Ketuhanan yang Maha Esa dan UUD 1945, maka agama menjadi tolok ukur yang wajib dipertimbangkan. Menutup pintu keburukan lebih wajib didahulukan, sekalipun tidak menutup kemungkinan adanya sisi kebaikan dari Pasal tersebut.

Banyak kalangan menduga, sikap dan perilaku terkait dengan pandangan seksual yang akhir-akhir ini semakin mendapat tempat pada tatanan regulasi, tidak dapat dilepaskan dari worldview seseorang atau kelompok tertentu yang menginginkan urusan seksual cukup dipandang sebagai urusan hak asasi manusia seseorang yang bersifat privaci masing-masing dan “hampa nilai” yang terpisah dari urusan agama.

Konsep sexual consent yang bersandar pada “persetujuan” atau “suka sama suka” yang diturunkan dari Comprehensive Sexuality Education [CSE] seperti ini, tentu tidak perlu diterima mentah-mentah, melainkan para pemangku kebijakan hendaknya “mengunyah” dengan baik, menimbang kembali dengan penuh pertimbangan moral dan etika. Pendidikan seks komprehensif, yang merupakan metode pengajaran pendidikan seks berdasarkan pada kurikulum yang bertujuan untuk memberikan siswa pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai untuk membuat pilihan yang tepat dan sehat dalam kehidupan seksual mereka sangat rentan mengandung kebiasan dan multi tafsir, ketika tidak dikawal oleh nilai-nilai agama yang sudah mapan.

Persoalan seksual merupakan persoalan yang telah menjadi axiomatic bagi manusia yang dianugerahi memiliki kecenderungan syahwat [fithrah jinsiyyah]; Selain penjabarannya sudah menjadi mafhum, juga aktivitas seksual merupakan persoalan yang sangat membutuhkan perlindungan “pintu tertutup” bukan kewajaran terbukanya “jendela kamar yang diumbar”. Karenanya, agama menyebutnya dengan kosa kata aurat [عورة]. Artinya “sesuatu yang malu apabila terlihat atau terbuka”. Pandangan ini sudah lazim dipahami kalangan ahli kamus dan fuqaha seperti Imam Al-Munaawi dan Imam Al-Qaadhi.

Sebagai umat beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepatutan, maka melakukan penolakan atau revisi terhadap PP No. 28 Tahun 2024 ini merupakan bentuk tanggung jawab warga negara terhadap nasib anak bangsa yang wajib memelihara moral bangsanya. Selain itu, diharapkan dapat menyelamatkan kedaulatan negaranya seiring dengan cita-cita pendiri bangsa dalam mewujudkan Indonesia bermartabat. Benar apa yang dituturkan Ahmad Syauqi bin Ahmad Syauqi [seorang penyair yang dikenal dengan panggilan Syauqi Beik] terkait hilangnya moral suatu bangsa:

وإنما الامم الأخلاق مابقيت … ڤإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا

“Suatu bangsa akan tetap abadi selama bangsa itu mempertahankan akhlaknya … Dan bangsa itu akan hancur apabila akhlaknya sudah rusak”. Semoga!!! Qad aflaha man zakkaahaa wa qad khaaba man dassaahaa.

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!