Jumat, Desember 6MAU INSTITUTE
Shadow

MENGISI KEMERDEKAAN DAN RUMITNYA MENJADI PAHLAWAN YANG PAHALAWAN

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Masih dalam suasana “Agustusan”, selain masih nampak di sebelah kanan-kiri ruas jalan Merah-Putih berkibar tertiup angin bersama umbul-umbul beraneka ragam warna dan bentuk, juga beragam tulisan bernada semangat nasionalisme menyala menghiasi setiap belokan, pertigaan, perempatan, atau simpang lima.

Iring-iringan pawai dirgahayu kemerdekaan, senantiasa hadir dalam rutinitas yang sudah diwajarkan ini. Dipimpin tokoh masyarakat, warga pun dengan sukarela dan penuh antusias untuk mewujudkan acara tahunan ini; mulai beragam atraksi seni hingga beragam perlombaan rakyat. Pada wajah mereka, nampak sumringah ketika seluruh lapisan masyarakat berbaur dengan hiruk pikuk lagu-lagu perjuangan. Terutama kaum pelajar, tidak terkecuali kaum santri dikerahkan para Kyai-nya untuk turut serta dalam perhelatan ini.

Ada nilai yang tidak boleh dilupakan oleh seluruh lapisan anak bangsa, setiap hajatan kemerdekaan sudah semestinya siapa pun kita sebagai “penikmat kemerdekaan” tidak boleh kehilangan arah dan kehabisan langkah dalam mensyukurinya sekalipun situasi dan kondisi yang kita alami terkadang tidak sesuai dengan harapan. Suasana seperti ini mengingatkan kita terhadap ungkapan bijak Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir yang menuturkan dalam karya magnum opus-nya yang sangat dikenal, yakni Capita Selecta.

Dalam ungkapannya yang menarik untuk dicermati adalah: “Banyak yang kurang dalam Republik kita ini. Banyak cacat-cacatnya. Banyak yang kita tidak puas melihatnya. Akan tetapi dengan segala cacat yang melekat pada Republik ini, kita harus terima Republik ini dengan rasa syukur nikmat. Bagi umat Islam mensyukuri nikmat itu, adalah suatu kewajiban. Tetapi harus diinsafi bahwa bersyukur atas nikmat itu, bukanlah semata-mata bergembira ria dengan melepaskan segala insting-insting untuk mencapai sebanyak-banyak kesenangan dan kemewahan. Bersyukur nikmat artinya, ialah menerima dengan insaf apa yang ada, dengan segala kandungannya berupa kelemahan dan kekuatan yang terpendam di dalamnya”.

Dari untaiannya tersebut, ada pelajaran berharga yang penting untuk dicatat; 1) Kemerdekaan bagi bangsa ini adalah anugerah Allah yang Maha Kuasa, terlepas dari plus minus antara kesempurnaan dan kelemahannya. 2) Syukur nikmat merupakan kunci pembuka untuk menghadirkan optimisme dalam membangun bangsa yang merdeka, dan 3) Menyadari akan kelemahan diri dan masih meyakini adanya kekuatan terpendam yang bisa dikembangkan, merupakan motivasi perjuangan yang wajib terus dinyalakan.

Di tengah gegap gempitanya anak bangsa menyambut perhelatan rutinan ini, dalam waktu yang bersamaan masyarakat justeru dibingungkan oleh ulah oknum yang memaksakan kehendak atas nama “kebinekaan dalam keseragaman”. Pakaian jilbab bagi pelajar, khususnya pasukan pengibar bendera Merah-Putih yang semula tidak pernah ada persoalan, namun kini dipersoalkan. Lalu, di mana letak keragaman yang sesungguhnya? Bukankah memakai pakaian sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya itu, merupakan bagian dari pengamalan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa? Dan semua itu, dilindungi Undang-Undag Dasar 1945.

Yang lebih memprihatinkan, dalam suasana yang seharusnya penuh khidmat dan renungan yang mendalam atas jasa-jasa para pahlawan, serta antusiasme anak bangsa dalam menyambut kemerdekaan, muncul persoalan PP No. 28/ 2024 terkait “Pembagian alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar” yang menghebohkan itu. Alih-alih berikhtiar menguatkan generasi penerus bangsa untuk lebih meningkatkan moral sebagaimana amanat Undang-Undang Sisdiknas dan mampu melanjutkan semangat kepahlawanan, yang terjadi adalah bisa sebaliknya. Cepat atau lambat, pintu-pintu kebinasaan dan kehancuran telah menunggu mereka.

Kembali kepada pentingnya mengembalikan jiwa-jiwa kepahlawanan untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, sudah seyogianya semua lapisan masyarakat benar-benar melepaskan belenggu yang menelikung jiwa-jiwa mereka dari penjajahan berbagai kepentingan hawa nafsu menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.

Satu hal yang wajib diingat, tidaklah kemerdekaan itu merupakan hasil jerih payah manusia semata, bagi orang yang beriman meyakini di dalamnya ada campur tangan Dzat yang Maha Kuasa adalah bentuk keimanan. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَمَا جَعَلَهُ ٱللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُم بِهِۦ ۗ وَمَا ٱلنَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَكِيمِ

Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi [kemenangan]mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Aalu ‘Imraan/ 3: 126)

Tidak membunuh nurani, tidak menyayat keadilan, tidak mencampakkan kebenaran, tidak merendahkan moral, tidak mengkhianati konstitusi, tidak membenamkan sejarah, tidak menumbangkan karakter kawan seperjuangan, dan yang paling utama tidak memusuhi agama. Sifat-sifat itulah yang sejatinya menghiasi setiap kita … Ingatlah! Teriak merdeka memang gampang, tapi memerdekakan itulah yang tidak mudah. Mengaku pahlawan tidaklah sulit, menjadi pahlawan yang pahalawan itulah yang teramat rumit. Wallaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!