Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Bulan Rabi’ul Awwal merupakan bulan dilahirkannya sosok panutan; manusia teladan sepanjang zaman, yang semua perilakunya menjadi contoh dan pedoman yang diikuti manusia, kecuali perkara-perkara tertentu yang menjadi kekhususannya [khushuushiyyaat]. Mengapa harus ada perkara yang dikhususkan [makhshuushah]? Jawabnya adalah karena apabila diikuti oleh segenap umatnya, secara kejiwaan belum tentu mereka bisa mengikutinya.
Sekalipun dari sisi ketepatan penanggalan, terjadi perbedaan di kalangan para ahli sejarah terkait kepastian tanggal kelahirannya. Yang populer adalah hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal saat penyerangan Raja Abrahah dengan pasukan bergajahnya, sementara temuan Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan seorang ahli astronomi Mahmud Basya, hari Senin tersebut tanggal 09 Rabi’ul Awwal [bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M.] 40 tahun setelah kekuasaan Kekaisaran Anusyrwan. Adapun ketetapan wafatnya para ahli tidak terjadi silang pendapat, yakni 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 H. dalam usia 63 tahun lebih 4 hari. (Lihat: Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitabnya Ar-Rahiiqul Makhtuum, 2001: hlm. 65)
Apabila dicermati secara taarikh tasyri’, justru peristiwa yang teramat penting untuk diperhatikan bukanlah kelahirannya, melainkan wafatnya. Mengapa demikian? Karena peristiwa wafatnya Nabi panutan merupakan pertanda terputusnya ajaran dengan sunnah-sunnahnya yang mulia setelah sebelumnya Allah ‘azza wa jalla menutup wahyu yang diturunkan kepadanya. Seiring dengan dipanggilnya menghadap Dzat yang Maha kuasa, berhenti pula segala kesempurnaan yang menjadi keteladanan sosok pribadinya. Berikutnya adalah, bagaimana syari’at yang telah terbentuk itu, berkembang dan menyeruak ke seantero jagat yang tugas berikutnya diemban oleh generasi terbaik umat di segala zaman.
Untuk lebih menghadirkan kesenyawaan, antara kecintaan kita sebagai umatnya kepada Nabi panutan, maka sangat dianjurkan meningkatkan pengetahuan biasa [al-‘ilmu] menjadi pengetahuan yang lebih dari sekadar tahu, melainkan “tahu banget” alias mengenal lebih dekat [al-ma’rifah]. Karena itulah, Syaikhul Mujaddid Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullaah menjadikan “pengenalan lebih dalam” ini sebagai bahagian dari “tiga prinsip ajaran agama” atau yang populer dengan sebutan “tiga inti ajaran Islam” [al-ushuuluts tsalaatsah]; mengenal Allah ‘azza wa jalla, mengenal Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mengenal ajaran Islam berdasarkan dalil-dalil agama.
Ada banyak pendekatan, bagaimana mengenalkan sosok istimewa ini. Dikatakan istimewa, selain penciptaannya sebagai manusia seperti manusia pada umumnya [dari ujung rambut hingga ujung kaki] sebagai organ luar [basyar], juga kesempurnaannya sebagai manusia lengkap dengan akal pikiran dan hatinya, itulah yang disebut dengan insaan. Selain itu, juga disempurnakan dengan selalu diiringkannya wahyu yang menghiasi semua tindak tutur dan geraknya. Dengan demikian, membicarakan sosoknya, sudah bisa dipastikan akan membahas beragam pendekatan yang dilakukan para ahli ilmu dengan berbagai perspektifnya.
Ketika membicarakan perkara keyakinan dan keimanan, berarti kita tengah membahas masaailul ‘aqdiyyah atau ‘aqidah. Ketika membicarakan perkara bagaimana cara mengabdi dan menyembah Dzat Pencipta, berarti kita tengah membahas masaailul ‘ibaadah. Ketika membicarakan perkara hubungan sesama manusia, berarti kita tengah membahas mu’aamalah. Ketika membicarakan perkara perbuatan jiwa dan etika moral, berarti kita tengah membahas tazkiyatun nafs wal akhlaaq. Ketika membicarakan perkara negara dengan segala peraturan di dalamnya, berarti kita tengah membahas masaailul jinaayah. Ketika membicarakan perkara peperangan dengan segala alasan yang terjadi, berarti kita tengah membahas beragam ghazawaat dan saraayaat-nya. Dan masih banyak perkara lainnya yang menghiasi pembahasan demi pembahasan para ulama dalam karya-karyanya.
Bagi sebahagian kalangan, mengenalkan ajaran agama dengan pendekatan ritual itu dirasakan sebagai pendekatan yang paling tepat adanya. Namun bisa jadi sebaliknya, bagi sebahagian lainnya tidak demikian. Bagi kalangan dan komunitas tertentu, pendekatan fungsional lebih bisa diterapkan. Sebenarnya, tidak ada alasan untuk membeda-bedakan dua pendekatan tersebut, karena keduanya sama-sama ditunaikan oleh Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pendekatan pertama, lebih menyisir pada aspek bagaimana umat ini bisa menjalankan praktek ibadahnya dengan tata cara yang benar [kaifiyyaat fil ‘ibaadah as-shahiihah]. Sementara pendekatan yang kedua, lebih menyasar pada bagaimana mu’amalah umat bisa terimplemantasikan dengan menyeluruh dan mendalam. Karenanya, banyak isu-isu kontemporer yang masih belum mendapatkan ruang yang signifikan di tengah masyarakat kaum Muslimin sendiri.
Isu terkait kerusakan lingkungan, pemanasan global [global warming] yang mendorong lahirnya “fiqih lingkungan hidup” dengan semangat go green-nya, isu hak asasi manusia yang sering dipertanyakan oleh komunitas “manusia modern” kepada para ulama Islam, isu toleransi yang masih bias, serta membutuhkan pencerahan, isu keadilan gender yang mulai banyak gugatan, serta isu-isu kemanusiaan lainnya yang masih berderet panjang. Semua itu sangat membutuhkan jawaban cerdas yang sepadan, bahwa Islam yang dibawa Nabi akhir zaman pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar jawaban ilmiahnya, tentu selaras dengan konteks zamannya.
Sebagai perwujudan Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, demikian pula sosok yang membawanya adalah Nabi yang penuh rahmat, maka kehadiran para penyeru dakwah peradaban yang mencerahkan sangat ditunggu oleh masyarakat dunia yang semakin kosmopolitan.
Munculnya berbagai lembaga riset internasional yang memfokuskan pembahasannya pada diskursus ajaran Islam yang integral; semisal Al-Lajnah al-‘Aalamiyyah Bimuhaafazhati Nabiyir Rahmah sebagai sayap Raabithah al-‘Aalam al-Islaami yang bergerak dalam pengenalan Nabi akhir zaman yang penuh rahmat untuk masyarakat negara-negara maju [benua Amerika, benua Eropa, Korea, Jepang, dll.] atau perhelatan ilmiah semisal “Simposium Kemukjizatan Al-Qur’an dan As-Sunnah” yang pernah digelar Organisasi Konferensi Islam [OKI] bersama lembaga-lembaga Islam di PT. Nurtanio Bandung Jawa Barat pada masa Menristek Prof. Dr. Ir. H. B.J. Habibi, juga pengkajian mendalam terkait “Kemukjizatan Agung Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Sains” [sebagaimana diuraikan Dr. Taufiq Muhammad ‘Ulwan yang diterbitkan Dar Balansiya, KSA, 1421 H.] merupakan langkah tepat untuk menjawab beragam pertanyaan zamannya.
Kembali kepada bahasan renungan bulan kelahiran dan wafatnya Nabi akhir zaman, seyogianya bulan Rabi’ul Awwal ini menjadi pemantik untuk melejitkan pencarian mutiara yang terhampar luas tentang agungnya peradaban Islam yang penuh teladan. Sangatlah ironis apabila penafsiran terhadap uswatun hasanah hanya diposisikan pada bilik-bilik kecintaan buta semata tanpa menyentuh nilai-nilai agung peradaban yang mulia dan penuh makna. Yang lebih memprihatinkan, bergesernya nilai al-walaa’ wal baraa’ dengan memunculkan adanya “manusia teladan” selain Nabi akhir zaman atau sekadar meriuhkan kegaduhan bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh nasab keturunan. Mencintai tidak harus melampaui ketentuan Nabi dan bersikap tasaamuh [toleran] tidak harus diiringi dengan tasyabbuh [ikut-ikutan yang kebablasan]. Wallaahu yahdiinaa ilaa ash-shiraath al-mustaqiim
masih banyak masalah (modern?) yang perlu jawaban dan solusi kreatif
Alhamdulillâh sae Tadz. Jazâkumullahu khair. Mohon izin share.