Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Adanya keinginan untuk meniru atau menyerupai suatu perkara yang menjadi objek peniruan atau penyerupaan dengan segala variannya merupakan suatu hal yang sudah menjadi watak manusia. Melalui proses peniruan inilah manusia bisa belajar beragam aspek dari luar dirinya; gaya hidup [life style], budaya [culture], cara pandang [world view], dan lainnya.
Bagi seorang Muslim, semua itu terikat erat dengan ‘aqidah dan syari’at yang terkait dengan segala batasannya. Adapun sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menuturkan “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”, masih mengandung makna umum yang membutuhkan pemetaan; Mana yang disepakati keharamannya, dan mana yang masih diperselisihkan? Jika ada tasyabbuh dalam Mu’amalah yang dibolehkan, apa batasannya?
Memaknai Tasyabbuh
Tasyabbuh menurut bahasa adalah bentuk mashdar dari kata kerja tasyabbaha [syin, ba, dan ha]. Yaitu suatu ashal yang menunjukan kepada penyerupaan sesuatu, kesamaan warna, dan sifat. Sering disebut pula dengan kata-kata: syibh, syabah, dan syabih. Syibh artinya suatu permata yang serupa dengan emas. Jika disebutkan musyabbihat minal umuur artinya musykilat, yakni kesulitan-kesulitan. Jika disebutkan isytabaha al-amraani, artinya dua perkara yang membingungkan. (Ahmad bin Faris, Mu’jam Muqayis al-Lughah).
Sedangkan kata syibh adalah kata yang berarti “seperti”, dan bentuk jamaknya asybaah. Jika dikatakan tasyabbahaa, artinya dua hal yang masing-masing mirip satu sama lain. (Ismail al-Jauhari, As-Shihah, tahqiq Abdul Ghafur Athar dalam Jamil bin Habib Al-Luwaihiq, Al-Tasyabbuh al-Manhiy ‘Anhu Fii al-Fiqh al-Islaami [terj. Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fiqih Islam], 2007: hlm. 17)
Sumber lain menyebutkan, tasyabbuh diambil dari kata al-musyaabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-tasybiih berarti peniruan dan mutasyaabihah artinya mutamaatsilat [serupa]. Maka secara istilah, pengertian tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya; baik dalam ‘aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukan ciri khas mereka.
Lebih rinci Al-Luwaihiq memaparkan pandangan ahli ilmu sebagai berikut:
- Imam Muhammad Al-Ghazi Asy-Syafi’i dalam Husnu at-Tanabbuh Limaa Warada Fii at-Tasyabbuh menuturkan: “Tasyabbuh adalah ungkapan yang menunjukan manusia untuk menyerupai dengannya dalam hal tingkah, pakaian, atau sifat-sifatnya. Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah yang dibuat-buat yang diinginkan dan dilakukannya.”
- Al-Munawi dalam Faidh al-Qadiir Syarh al-Jaami’ as-Shagiir menjelaskan: “Berdandan sebagaimana dandanan mereka, berusaha mengenali sesuai perbuatan mereka, berakhlaq dengan akhlaq mereka, berjalan pada jalan mereka, mengikuti berkenaan dengan pakaian dan perbuatan. Intinya, tasyabbuh yang sesungguhnya adalah mengikuti keinginan mereka berkaitan dengan aspek lahir maupun batin.”
Selain itu, ada banyak kata lain yang serupa dengan kata tasyabbuh dengan penekanan makna yang berbeda. Dan yang paling jelas memiliki penyerupaan maknanya adalah sebagai berikut: tamatstsul, muhaakat, musyaakalah, ittibaa’, muwaafaqah, taassii, dan taqliid.
Dalil Syar’i Menjauh dari Tasyabbuh
Ada banyak ayat dan hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan agar menjauh dari tasyabbuh, di antaranya:
ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ماجاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai serta berselisih, sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali ‘Imran/ 3: 105)
ولا يكونوا كالذين اوتوا الكتاب من قبل فطال عليهم الأمد فقست قلوبهم وكثير منهم فاسقون
“Dan janganlah mereka [orang Mukmin] seperti orang-orang yang sebelumnya diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang lama atas mereka dan hati mereka pun menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasiq.” (QS. Al-Hadid/ 57: 16)
Adapun larangan berupa hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
عن أنس قال: قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: “ما هذان اليومان؟ ” قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر
Dari shahabat Anas radhiyallaahu ‘anh ia berkata: “Pada suatu waktu Nabi datang di Madinah, di sana penduduk Madinah sedang bersuka ria selama dua hari. Lalu Nabi bertanya: “hari apakah ini [mengapa penduduk Madinah bersuka ria?]” Mereka menjawab: ”dulu semasa zaman jahiliyah pada dua hari ini kami selalu bersuka ria”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mengganti dalam Islam dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya qurban [‘idul adhha] dan hari raya fithri [‘idul fithri].” (HR. Abu Dawud, 1134 dan Imam Ahmad)
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُم
“Jangan jadikan rumah kalian seperti quburan, dan jangan jadikan quburanku sebagai tempat ‘id, bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun engkau berada.” (HR. Abu Dawud [2042], Imam Ahmad [8605], Ath-Thabrani [8/81])
أولئك قوم إذا مات فيهم العبد الصالح أو الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله
“Mereka adalah suatu kaum, ketika hamba yang shalih atau orang yang shalih di antara mereka meninggal dunia, mereka membangun di atas kuburannya masjid dan menggambar di dalamnya dengan gambar-gambar. Mereka itu makhluq yang terburuk di sisi Allah.” (HR. Bukhari [434] dan Muslim [528]).
إن كدتم آنفا تفعلون فعل فارس والروم، يقومون على ملوكهم وهم قعود، فلا تفعلوا
“Hampir saja kalian tadi berbuat seperti bangsa Persia dan Ramawi, mereka berdiri menghormati pemimpinnya yang sedang duduk, maka janganlah kalian meniru mereka.” (HR. Muslim, 624).
لم يكن شخص أحب إليهم من النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وكانوا إذا رأوه لم يقوموا له, لما يعلمون من كراهيته لذلك.
“Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para shahabat selain Nabi. Dan apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka tahu bahwa Nabi membencinya.” (HR. Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, no. 946).
لا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nashrani memuji kepada Nabi ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah, maka panggillah aku hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari [3445]).
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ. وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang sulit untuk ditinggalkan: membangga-banggakan kebesaran leluhur, mencela keturunan, mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan meratapi mayit “. Lalu beliau bersabda: “Orang yang melakukan ratapan apabila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (HR. Muslim [934]).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخَنَّثِي الرِّجَالِ الَّذِينَ يَتَشَبَّهُونَ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ الْمُتَشَبِّهِينَ بِالرِّجَالِ وَرَاكِبَ الْفَلَاةِ وَحْدَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita, para wanita yang menyerupai laki-laki, dan beliau juga melaknat orang yang berpergian ke suatu daerah sendirian.” (HR. Ahmad [7517]).
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Bedakan diri kalian dengan orang-orang musyrikin, lebatkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari [5892], Muslim [259]).
نذر رجل أن يذبح إبلا ببوانة، فسأل النبي فقال : ”هل كان فيها وثن من أوثان الجاهلية يعبد ؟” قالوا: لا، قال : ”فهل كان فيها عيد من أعيادهم ؟” قالوا : لا، فقال رسول الله : ”أوف بنذرك، فإنه لا وفاء لنذر في معصية الله ولا فيما لا يملك ابن آدم”.
“Ada seseorang yang bernadzar akan menyembelih unta di Buwanah. Dia lantas bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun bertanya, “Apakah dulunya di tempat itu ada berhala peninggalan orang-orang jahiliyah yang disembah?” Para shahabat menjawab, “Tidak ada.” Nabi bertanya lagi, “Apakah di tempat itu pernah diadakan salah satu perayaan oleh orang-orang jahiliyah?” Para shahabat menjawab, “Belum pernah.” Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tunaikanlah nadzarmu, namun tidak boleh menunaikan nadzar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan di luar batas kemampuan seseorang.” (HR. Abu Dawud [3313]).
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَائِشَةَ وَابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَا لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً عَلَى وَجْهِهِ فَإِذَا اغْتَمَّ كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ وَهُوَ كَذَلِكَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا
“Dari Az-Zuhriy ia berkata, ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah telah mengabarkan kepadaku dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa, keduanya berkata; “Ketika sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin parah, Beliau memegang bajunya dan mukanya ditutup. Bila sudah sesak, beliau lepaskan dari mukanya. Dalam keadaan selalu seperti itu beliau bersabda: “Laknat Allah tertimpa kepada Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid-masjid.” Beliau mengingatkan [kaum Muslimin] atas perbuatan mereka [Yahudi dan Nashara].” (HR. Bukhari [3195]).
خالِفوا اليَهودَ فإنَّهم لا يصلُّونَ في نعالِهِم ولا خفافِهِم
“Selisihilah kaum Yahudi. Sesungguhnya mereka tidak shalat dengan memakai sandal dan sepatu mereka.” (HR. Abu Dawud [652])
سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Subhaanallaah, ini seperti yang dikatakan kaum Musa: Buatkan kami ilah seperti ilah-ilah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, kalian akan melakukan perilaku-perilaku orang sebelum kalian.” (HR.Tirmidzi [2016]).
Tasyabbuh dalam Mu’amalah dan Kaidah Para Ulama
Dengan kembali kepada dalil umum sebagaimana hadits Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anh, beliau berkata, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud).
Ulama hadits abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menuturkan komentarnya: “Hadits-hadits yang shahih yang melarang Muslimin bertasyabbuh kepada orang-orang kafir dalam berbagai perkara; yaitu dalam shalat, puasa, haji, jenazah, penyembelihan, makanan, pakaian dan perhiasan, adab, juga kebiasaan-kebiasaan, serta perkara yang bermacam-macam lainnya.” (Lihat: Jilbaab al-Mar’ah al-Muslimah, 1413 H.: hlm. 161)
Pandangan tersebut sejalan dengan ulama sebelumnya, Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah ketika memberikan tafsiran ayat berikut:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas satu syariat [peraturan] dari urusan agama, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah/ 45: 18).
Menurutnya: “Dan termasuk orang-orang yang tidak mengetahui adalah setiap orang yang menyelisihi syari’at beliau. Serta makna “hawa nafsu mereka” adalah semua yang mereka sukai dan petunjuk lahiriyah yang dijalani orang-orang musyrik, termasuk keharusan-keharusan agama mereka yang batil, beserta semua yang mengikutinya. Maka itulah yang mereka sukai. Mencocoki mereka, berarti mengikuti apa-apa yang mereka sukai [yang menjadi hawa nafsu mereka]. Oleh karena itulah orang-orang kafir gembira dan senang dengan kesesuaian Muslimin dalam berbagai perkara mereka. Dan mereka suka untuk mendapatkannya walaupun dengan mengeluarkan harta yang banyak. Seandainya perbuatan itu tidak termasuk mengikuti hawa nafsu mereka, tetapi menyelisishi mereka berarti memutuskan jalan untuk mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk meraih keridhaan Allah di dalam meninggalkannya. Dan bahwa mencocoki mereka dalam hal itu bisa menjadi sarana untuk mencocoki mereka dalam perkara lainnya. Karena sesungguhnya “Siapa yang berada di daerah terlarang, maka dikhawatirkan dia memasukinya”. Mana saja dari dua perkara itu yang terjadi, tercapailah maksud secara umum, walaupun yang pertama tadi lebih nyata.” (Lihat: Iqtidhaa’ al-Shiraath al-Mustaqiim, Daarul Fikr, Tp thn: hlm. 14).
Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah/ 2: 104, beliau memaparkan: “Dalam hadits tasyabbuh ada dalil yang menunjukan larangan yang keras dan ancaman atas tasyabbuh terhadap orang-orang kafir pada perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, dan peribadatan mereka, serta selain itu dari perkara-perkara mereka yang tidak disyari’atkan untuk kita. Dan tidak boleh menyetujuinya.” (Lihat: Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim Li Ibni Katsiir)
Guru Besar ‘Aqidah Universitas Al-Imam Su’uud Riyadh Syaikh ‘Abdul Karim Al-‘Aql, ketika memberikan pengantar kutaibatnya tentang tasyabbuh, beliau menegaskan: “Nabi telah menunaikan amanahnya. Beliau telah menyampaikan risalah dan telah menasehati, juga telah memperingatkan dalam beberapa hadits yang berkenaan dengan tasyabbuh terhadap orang kafir, baik secara umum maupun secara detail. Tetapi di sisi lain sebagian umatnya justru telah terjerumus ke dalam jurang tasyabbuh itu, walaupun berbeda tingkat dan derajat tasyabbuhnya sesuai dengan kadar kerusakannya yang terjadi pada ummat dari zaman ke zaman. Oleh karenanya, tidaklah salah kalau kami katakan bahwa kadar tasyabbuh yang menimpa umat Islam di zaman ini telah mencapai tingkat yang paling kronis dibanding keadaan yang telah menimpa umat terdahulu. Apabila kami perhatikan, nampak sekali bahwa masalah tasyabbuh ini kurang mendapat perhatian dari banyak kalangan termasuk para ulama. Di samping itu, kami melihat permasalahan ini diangkat ke hadapan kaum Muslimin merupakan masalah yang tetap relevan dan sangat diperlukan. Kita akan meninjau masalah ini dari beberapa segi saja mengingat kompleksnya masalah. Dan yang terpenting bagi kita adalah memahami hal-hal yang bersifat prinsip [ushuul] dan beberapa kaidah mendasar yang harus dipahami oleh setiap Muslim. Tentunya agar mereka terhindar jangan sampai terjatuh ke dalam lubang perangkap tasyabbuh terhadap orang-orang kafir; baik dalam bidang ‘aqidah, ibadah, adat dan kebudayaan, atau dalam pola prilaku lainnya. Oleh karena itu, secara global kita katakan bahwa segala sesuatu yang tidak termasuk ciri khusus orang-orang kafir, baik ‘aqidahnya, adat istiadatnya, peribadatannya, dan hal itu tidak bertentangan dengan nash-nash serta prinsip-prinsip syari’at, atau dikhawatirkan akan membawa pada kerusakan, maka tidak termasuk tasyabbuh.” (Lihat: Man Tasyabbaha Biqaumin Fahuwa Minhum, Daarul Wathan Lin Nasyr, 1411: hlm. 4-7).
Untuk lebih mendalam mengetahui batasan dan rincian perkara yang musykil untuk dihukumi, serta mampu menentukan hukumnya sesuai ketentuan syari’ah, maka qawaaid ahlul ilmi menjadi pertimbangan yang sangat penting untuk diperhatikan. Terutama mengenai kaidah mu’amalah yang kita butuhkan dalam memutuskan perkara yang sedang dibahas ini. Di antaranya:
الأصل في الأشياء الإباحة إلا ما دل الدليل على النهي
“Pokok dalam perkara urusan dunia adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan kepada larangannya.”
ترك ما نريب سنته خير من أن يوقع بدعته
“Meninggalkan perkara yang diragukan kesunnahannya, maka hal itu jauh lebih baik dari pada harus terjerumus pada kebid’ahannya.”
العرف والعادة يرجع إليه في كل حكم حكم به الشارع ولم يحده بحد
“Urf dan kebiasaan dijadikan pedoman pada setiap hukum dalam syari’at yang batasannya tidak ditentukan secara tegas.”
المشابهة في الظاهر تورث نوع مودة ومحبة وموالاة في الباطن كما أن المحبة في الباطن تورث المشابهة في الظاهر، وهذا أمر يشهد به الحس والتجربة
“Penyerupaan penampilan lahiriyah akan menimbulkan unsur kecintaan dan rasa suka, serta loyalitas di dalam hati sanubari sebagaimana pula kecintaan dalam hati akan melahirkan penyerupaan dalam lahiriah. Inilah perkara yang bisa dirasakan oleh indera dan dibuktikan dalam pengalaman.” (Lihat: Iqtidhaa’ al-Shiraath al-Mustaqiim Li Ibni Taimiyyah)
أنّ المشابهة في الأمور الظاهرة تورث تناسبا وتشابها في الأخلاق والأعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlaq dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang bertasyabbuh dengan orang kafir.” (Lihat: Majmuu’ al-Fataawaa, 22: hlm. 154).
فإذا كان هذا في التشبه بهم وإن كان من العادات فكيف التشبه بهم فيما هو أبلغ من ذلك
“Jika dalam perkara adat [kebiasaan] saja kita dilarang bertasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?” (Lihat: Majmuu’ al-Fataawaa 25: hlm. 332).
Kesimpulan dan Penutup
Dengan menelaah beragam ayat Al-Qur’an, hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pandangan ulama muktabar, juga pertimbangan kaidah ushuuliyyah, maka kesimpulan yang menyebutkan bahwa tasyabbuh dalam perkara ‘aqidah dan syari’ah hukumnya haram sudah menjadi kesimpulan aksiomatik, yakni diketahui secara luas. Adapun tasyabbuh dalam perkara mu’amalah, masih menjadi perselisihan. Namun demikian, di antara sekian pembahasan tasyabbuh, putusan kesimpulan hukum [istinbaath] yang dihasilkan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam tentang perkara ini, bisa menjadi pertimbangan; 1] Apabila objeknya sudah menjadi ciri khas agama di luar Islam maka tasyabbuh hukumnya haram, 2] Apabila objeknya tidak menjadi ciri khas agama di luar Islam maka tasyabbuh hukumnya mubah, 3] Apabila objeknya menjadi ciri khas kemaksiatan maka tasyabbuh hukumnya haram, dan 4] Tasyabbuh laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya hukumnya haram.
Semoga kehati-hatian dalam mengambil sikap yang lebih selamat, tercatat sebagai bagian dari upaya memelihara kemuliaan dan kehormatan Islam. Allaahumm faqqihnaa fid diin … Yaa Muqallibal quluub tsabbit quluubanaa ‘alaa diinika
Alhamdulillâh. Jazâkumullâhu khair Tafz. Mohon izin share.
Masyaallah…ijin share ustadz