Rabu, Februari 12MAU INSTITUTE
Shadow

SIAGA BENCANA ‘AQIDAH; AGAR UMAT SELAMAT DARI SYUBHAT TAHUNAN

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Perubahan waktu ke waktu; Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, pekan demi pekan, tahun demi tahun, bahkan abad demi abad. Semua itu merupakan sunnatul kaun atau sunnatullaah, yakni perjalanan peristiwa zaman yang telah menjadi kuasa Dzat yang Maha menciptakan. Itulah perguliran yang akan terus berulang [sunnatul mudaawalah]. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وتلك الأيام نداولها بين الناس

“… Dan hari-hari itu Kami gulirkan di antara manusia …” (QS. Ali Imraan/3: 140)

Sekalipun ayat tersebut berkaitan dengan menang-kalah dan jatuh-bangun jeda waktu antara perang Badar Kubra dan perang Uhud, namun para ahli ilmu menjadikannya pula sebagai dalil yang menunjukkan bahwa “perputaran zaman” itu merupakan ketentuan-Nya. Hal serupa ditegaskan sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

أن الزمان قد استدار

“Sesungguhnya zaman terus beredar …” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah radhiyallaahu ‘anh)

Islam Memuliakan Waktu

Betapa agama ini sangat menghargai waktu, maka Al-Qur’an sebagai dustuur ilaahi menyebutkan pengulangan yang sangat indah dalam bentangan ayat-ayat tentang waktu; Demi masa [wal ‘ashri], demi waktu malam [wal laili], demi waktu terbitnya matahari [wal Fajri], demi waktu shubuh [was shubhi], demi waktu sepenggalan matahari [wad dhuhaa], demi waktu siang [wan nahaari], dan kalimat-kalimat berikut: qul a’uudzu bi rabbil falaq, “Katakanlah Muhammad, aku berlindung kepada Rabb pemilik waktu shubuh” dan wa min syarri ghaasiqin idzaa waqab, “Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”.

Agar manusia tidak mudah tergelincir dan senantiasa sadar akan keadaan dirinya di dunia, Rasulullaah pun mengingatkan umatnya dengan menuturkan nasihat berikut:

كن في الدنيا كأنك غريب او عابر سبيل. وكان ابن عمر يقول: إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا اصبحت فلا تنتظر المساء؛ وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك

“Jadilah anda hidup di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang bepergian; Lalu Ibnu Umar mengatakan: Apabila anda di sore hari, maka janganlah menunggu waktu pagi. Dan apabila anda di waktu pagi, maka janganlah anda menunggu waktu sore. Gunakan kesempatan sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan gunakan masa hidupmu sebelum datang masa matimu.” (HR. Bukhari, Raqaaiq no. 6416, Tirmidzi, Zuhd no. 2333 dan Ibnu Maajah, Zuhd no. 4114 dari shahabat Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anh)

Hijriyyah-Masiihiyyah; Sejarah dan Mitologi

Membicarakan perjalanan waktu, maka tidak akan bisa melepaskan pembahasan bulan-bulan yang sudah menjadi ketetapan umat manusia, yakni penamaan bulan-bulan itu sendiri yang prakteknya tidak dapat dipisahkan dari sejarah mengapa bulan-bulan tersebut diberi nama sebagaimana yang kita kenal sekarang; Ada yang disebut bulan Hijriyyah dan ada yang disebut bulan Masiihiyyah. Sejarah penamaan nama-nama bulan Hijriyyah, lebih disandarkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zamannya, sedangkan nama-nama bulan Masiihiyyah lebih disandarkan pada mitologi nama-nama Dewa Romawi yang diyakini memiliki pengaruh dalam kehidupan.

Penamaan bulan-bulan Hijriyyah; Mulai dari Muharram [dihubungkan dengan terlarangnya peperangan], Shafar [dihubungkan dengan wabah penyakit kuning], Rabii’ul Awwal-Rabii’ul Akhiir atau Tsaani [dihubungkan dengan musim semi awal, tengah dan akhir], Jumaadal awwal-Jumaadal Akhiir atau Tsaani [dihubungkan dengan awal, tengah, dan akhir musim dingin], Rajab [dihubungkan dengan rasa takut dan pengepungan karena peperangan], Sya’ban [dihubungkan dengan berpencarnya suku-suku karena mencari air], Ramadhan [dihubungkan dengan musim panas], Syawwal [dihubungkan dengan pergerakan kawanan unta di musim kawin], Dzulqa’dah [dihubungkan dengan masa berhenti dari peperangan sebagai persiapan haji], dan Dzulhijjah [dihubungkan dengan pelaksanaan haji di masanya].

Sementara penamaan bulan-bulan Masiihiyyah; Mulai dari Januari [dari nama Janus sang Dewa Pintu yang berwajah atau kepala dua], Februari [dari nama Dewa Februus atau Februalia sebagai festival pembersihan dosa], Maret [dari nama Mars sang Dewa Perang Romawi], April [dari Aperio yang berarti bunga yang mulai kuncup], Mei [disebut juga May dari nama sang Dewi Yunani Maia], Juni [dari Juno nama Dewi Romawi sang Pelindung pernikahan dan kesejahteraan wanita], Juli [dari nama Julius Caesar sang diktator yang dihormati bangsa Romawi], Agustus [dari nama Augustus Caesar sang cucu Julius yang dihormati], September [dari kata latin septem yang berarti bulan ketujuh pada penanggalan Romawi awal], Oktober [dari kata latin octo yang berarti bulan kedelapan dalam penanggalan Romawi awal], November [dari kata latin novem yang berarti bulan kesembilan dalam penanggalan Romawi awal], dan Desember [dari kata latin decem yang berarti hari kesepuluh dari penanggalan Romawi awal].

Pergantian Tahun Bukan Hari Raya Islam

Merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa tradisi Romawi yang sarat dengan keberhalaan [watsaniyyah, paganisme] dan Persia yang penuh kebatinan Majusi [baathiniyyah, mistisisme] sangat mempengaruhi kaum Muslimin masa awal. Karena itu, sebagaimana diceritakan para shahabat ridhwaanullaah ‘alaihim, mereka menemukan sisa-sisa ajarannya yang sulit hilang dari kehidupan masyarakat. Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anh menuturkan:

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

Orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, beliau bersabda: “Dahulu kalian memiliki dua hari yang kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhha.” (HR. Abu Dawud no. 1134, An-Nasa’i no. 1556).

Adapun yang dimaksud hari raya sebelum dua hari raya Islam, adalah hari raya Nairuuz dan Mihrajan sebagaimana dilakukan bangsa Persia dalam menyambut tanggal baru dan musim semi mereka. (Lihat: Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, 9/ 234 dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anh).

Siaga Bencana ‘Aqidah; Kiat Selamat dari Syubhat

Dengan kuatnya pengaruh ajaran Yahudi dan Nashrani, juga tradisi Romawi dan Persia; Bukan saja menjadi kebiasaan yang berkembang pada saat mereka berjaya, melainkan setelah Islam datang pun sisa-sisa ajarannya masih dilaksanakan sebagai tradisi tahunan yang dianggap sakral hampir di seantero belahan dunia. Benar apa yang disampaikan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ؟

“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullaah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.”
(HR. Muslim no. 4822 dari shahabat Abu Sa’ied al-Khudri radhiyallaahu ‘anh)

Dalam riwayat yang berbeda, Rasulullaah menuturkan: “Kiamat tidak akan terjadi sehingga umatku mengikuti jalan kaum sebelumnya; sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Lalu ada shahabat yang bertanya: “Apakah mereka itu mengikuti seperti kebiasaan Persia dan Romawi?” Rasul pun menjawab: “Siapa lagi, kalau bukan mereka.” (HR. Al-Bukhari, no. 7319 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)

Agar umat selamat dari berbagai syubhat dan fitnah; bahagia akhir dan awal tahun tidak menjadi petaka, sebaiknya pergantian tahun [baik Hijriyyah ataupun Masiihiyyah] cukup dipahami sebagai tanda-tanda kekuasaan Dzat yang Maha kuasa dalam menggulirkan waktu-waktu yang telah ditetapkan-Nya. Setelah itu, seiring dengan dengan merenungkan kembali narasi Ilahiyah QS. Al-Hasyr/59 ayat 18 berikut: ” … Hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan untuk hari esok [hari kiamat]”, maka beragam pertanyaan isyarat nubuwwah [dari shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anh] patut menjadi renungan; Untuk apa usia dihabiskan, masa muda dipergunakan, dari mana harta didapatkan dan ke mana harta tersebut dikeluarkan, juga tentang ilmu sejauhmana telah diamalkan.

Semoga dengan selalu bersyukur atas nikmat karunia yang diberikan [tasyakkur], merenungkan dan selalu mengingat kebesaran-Nya [tadabbur, tadzakkur], introspeksi diri dari segala kekhilafan dan kekurangan [tahaasub], serta terus meningkatkan kinerja amal [ta’aamul] yang lebih baik dan diridhai. Semua itu, harapannya adalah bisa semakin menambah berat timbangan kebaikan dan meringankan timbangan keburukan di yaumul hisaab kelak. Allaahumma haasibnii hisaaban yasiiran

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!