Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Tidak sempurna rasanya, apabila membicarakan orang-orang mulia yang dermawan melewatkan sosok laki-laki “tajir abis” yang kekayaannya diabadikan sampai hari ini. Utsman bin ‘Affan bin Abul ‘Ash bin Umayyah bin Syamsin bin ‘Abdi Manaf radhiyallaahu ‘anh, inilah nama sang Khalifah ke-tiga yang dijuluki dengan dzun nurain, yakni pemilik “dua cahaya” yang dipersuntingkan dengan dua putri Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiyallaahu ‘anhumaa]. Ketertarikan kepada kemuliaan seniornya Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallaahu ‘anh karena masuk Islam, membuat dirinya berada pada barisan as-saabiquunal awwaluun, yakni orang-orang yang pertama kali masuk Islam.
Saat Khalifah ‘Umar merasakan ajalnya semakin dekat [pasca peristiwa uji coba pembunuhan terhadap dirinya oleh budak Majusi Persia Abu Lu’luah milik Mughirah bin Syu’bah dan 13 orang pembunuh lainnya], ‘Umar pun segera berwasiat agar kaum Muslimin memilih khalifah pengganti dari enam kandidat shahabat terbaik. Mereka adalah: ‘Ali bin Abu Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, Zubair bin ‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallaahu ‘anhum. Dengan disaksikan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa, Miqdad dan Thalhah menyerahkan kebijakan sepenuhnya kepada enam orang terpilih supaya bermusyawarah di rumahnya Miswar bin Makhramah. Empat orang calon menjatuhkan pilihanya kepada ‘Ali atau ‘Utsman, yang kebijakan berikutnya diserahkan kepada ‘Abdurrahman. Maka terpilihlah ‘Utsman atas segala pertimbangan yang matang.
Pergantian kekhalifahan [istikhlaaf] ini, segera diiringi pembai’atan kaum Muslimin terhadap dirinya. Seraya berkhutbah di mimbar, Khalifah terpilih menyampaikan butir-butir nasihat penuh kelembutan: “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah adalah permainan; Biasanya manusia bermegah-megah dengan banyaknya harta dan anak, dunia sebenarnya adalah kesenangan yang sering menipu dan menjerumuskan. Maka sebaik-baiknya hamba Allah, adalah mereka yang berpegang teguh kepada perintah Allah dan kitab suci-Nya. Aku mohon perlindungan kepada Allah, dan kepada-Nya pula aku berserah diri.” Demikian Syaikh Muhammad al-Khudari Beik menukilkan dalam Itmaamul Wafaa Fii Siiratil Khulafaa (Daarul Fikri: Tp. Tahun, hlm. 174-175)

Seiring usianya yang semakin sepuh [70 tahun], Khalifah ‘Utsman melakukan pergantian para gubernur dan para wali di daerah-daerah; Mu’awiyah bin Abi Sufyan diserahi untuk memimpin negeri Syam, ‘Amr bin ‘Ash di Mesir digantikan oleh ‘Abdullah bin Abi Sarah, Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah [disebabkan adanya persoalan dengan ‘Abdullah bin Mas’ud] digantikan oleh Walid bin ‘Uqbah, Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi wali Bashrah diganti oleh ‘Abdullah bin ‘Amir. Dengan pengangkatan dan pergantian yang masif ini, menimbulkan dugaan dan satwa sangka bagi mereka yang kurang berkenan. Riak dan percikan api fitnah pun mulai dirasakan.
Selain adanya keinginan penguasa Romawi untuk kembali merebut daerah-daerah yang pernah dikuasainya [hingga terjadi pertempuran di lautan Alexandria tahun 31 H.], Khalifah ‘Utsman pun dihadapkan dengan semakin banyaknya kritikan atas dugaan ketidakadilan. Hal ini berujung pada tuntutan pergantian ‘Abdullah bin Abi Sarah oleh Muhammad bin Abi Bakar, diajukannya kembali Abu Musa al-Asy’ari atas ditunjuknya ‘Abdullah bin ‘Amir. Munculnya “surat kaleng” yang ditulis Marwan bin Hakam dengan menyebutkan ‘Abdullah bin Abi Sarah menyuruh untuk membunuh Muhammad bin Abi Bakar, bahkan berujung pada pengepungan rumah sang Khalifah selama 40 hari setelah sebelumnya seorang Yahudi Yaman ‘Abdullah bin Saba’ atau yang dikenal Ibnu Saudaa’ menebar fitnah di setiap wilayah. Situasi ini semakin membawa suasana tidak kondusif, hingga akhirnya Khalifah ‘Utsman pun terbunuh [dalam usia 82 tahun] di tangan para pemberontak.
Syahidnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan menimbulkan teka-teki besar yang menyebabkan api fitnah makin berkobar bagaikan bola liar; Simpang siurnya berita siapa sebenarnya biang keladi kerusuhan pembunuhan ‘Utsman? Nama-nama pelaku yang terabadikan dalam sejarah, di antaranya Humran bin Sudan [menurut catatan Al-Khayyath yang dipetik Al-Ustadz Ja’far Amir, 1985: hlm. 87]. Namun lebih lengkapnya, Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Faraa’ [w. 458 H.] memaparkan secara rinci dalam risalahnya yang berjudul: Muqaddimah Tanziihu Khaalil Mu’miniin Mu’awiyah bin Abi Sufyan minaz Zhulmi wal Fisqi fii Muthaalabatihi bi Dami Amiiril Mu’miniin ‘Utsman bin ‘Affan; “Meluruskan Sejarah Tragedi Terbunuhnya Utsman bin ‘Affan.” (Lihat: Pustaka Al-Haura, 1420 H./ 2000 M.)
Kawanan pemberontak yang telah “gelap mata” dan “gelap hati” ini, terus merangsek mendobrak rumah Khalifah ‘Utsman yang sudah tidak bergeming dari tempat sujud dan mencukupkan dengan berserah diri dengan membaca Al-Qur’an tanpa menyandang sebilah senjata apa pun. Namun, mereka justru membunuhnya [sebagaimana dikisahkan Hasan bin Tsabit]. At-Tujibi muncul dan memukulkan pedangnya ke kening Khalifah dengan tombak besi, disambut berikutnya oleh Mautul al-Aswad yang mencekiknya hingga pingsan, lalu seseorang memukul dengan pedangnya dan ‘Utsman sempat menangkisnya hingga kehilangan tangannya, yang lain pun turut mengayunkan pedangnya namun dicegah oleh Nailah binti Farafishah [isterinya ‘Utsman] dengan tangannya hingga jari jemarinya terputus. ‘Utsman pun bersimbah darah di antara tempat sujud dan mushhafnya dengan disaksikan isteri-isteri dan anak-anaknya. Salah satu mereka memasukkan pedang dari bawah tubuh Nailah hingga tembus ke perut ‘Utsman. Ketika mereka hendak memenggal kepala ‘Utsman, isteri-isteri dan anak perempuannya menjerit, mereka pun kabur setelah merampok dan menjarah harta Khalifah yang dermawan itu. Padahal sebelumnya, Muhammad bin Abi Bakar telah berusaha menghadangnya. (Lihat: Abu Ya’la, hlm. 34-37)

Sentimen kekuasaan dan penumpukkan harta yang dituduhkan kepada Khalifah, jelas tidak beralasan. Hal ini diakui oleh para shahabatnya, harta kekayaan ‘Utsman bin ‘Affan telah banyak dikeluarkan untuk kepentingan Islam. Bagaimana mungkin seorang yang telah menumpahkan apa yang dimilikinya “masih kemaruk” ingin menguasai kekayaan yang bukan haknya. Bukankah ketika perang Tabuk di musim panas, ‘Utsman menyerahkan 100 ekor unta yang telah dilengkapi pelana dan uang 1000 Dinar untuk menyambut seruan Rasulullaah dalam persiapan perang? Bukankah saat kaum Muslimin dan penduduk lainnya tidak dapat menikmati sumur Rumaat karena tidak bisa membayar, ‘Utsman membebaskan dan mewakafkannya kepada Rasulullaah? Begitu pula saat Madinah dilanda paceklik hebat di masa Khalifah Abu Bakar, ‘Utsman menyokong bahan makanan dan 1000 ekor unta yang telah ditawar konglomerat lainnya? Bahkan kesaksian shahabat Thalhah bin ‘Ubaidillah ketika dirinya memiliki hutang dan hendak membayarnya, justru ‘Utsman membebaskannya sebagai hadiah atas muruu’ah dan adab yang ditunjukkannya. Masih banyak lagi, bagaimana para shahabat mengkisahkan kedermawanan dirinya. (Lihat: Majdi Fathi Sayyid, Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin, 2005: hlm. 52-55).
Selain sikap hidupnya yang tidak bisa lepas dari Al-Qur’an, ‘Utsman adalah sosok yang benar-benar sangat menjiwai kandungan Kitab suci ini. Menurutnya: “Seandainya hati kita bersih, maka kita tidak akan pernah merasa puas dengan Kalaamullaah”. Karenanya, saat ujian mendera dan dirinya sadar kematian akan menjemput ajalnya, ‘Utsman tidak bisa menjauh dari Al-Qur’an. Demikian pula usahanya saat menjadi Amiirul Mu’miniin, ketika Hudzaifah bin Yaman radhiyallaahu ‘anh melaporkan kondisi para shahabat yang bersilang pendapat mengenai bacaan Al-Qur’an [setibanya dari perang Armenia dan Azerbaijan]. Atas nama Khalifah, ‘Utsman segera menunjuk Tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Harits untuk memperbanyak mushhaf menjadi tujuh naskah yang disebut “mushhaf induk” [mushhaful imaam] yang sebelumnya diambil dari tulisan Zaid bin Tsabit sejak masa Abu Bakar, ‘Umar dan terakhir disimpan rapih di rumah putrinya bernama Hafshah binti ‘Umar. Selain disimpan di Madinah, disimpan pula mushhaf lainnya di Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah dan Kufah. Adapun selainnya dibakar, berdasarkan kesepakatan untuk menghindari keraguan.
Dengan semua dinamika yang terjadi pada ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anh dan keluarga khususnya, sampai kini masih menyisakan perdebatan sejarah yang cukup sengit; Mulai dari isu nepotisme keluarga, tuduhan tindakan paksa atas nama Khalifah terkait mushhaf rasmul ‘Utsmani yang dinilai sentimen ras Quraisy, hingga pro kontra kebenaran gerakan Saba’iyyah Ibnu Sauda’ yang dinilai fiktif oleh sebahagian akademisi saat ini dan masih menyelimuti kabut sejarah. Terutama bagi sebahagian kalangan Orientalis, kelompok Liberal dan kaum Syi’ah yang sering menjadikan kasus ‘Utsman sebagai sumber petaka.
Sungguh benar apa yang dipaparkan para ahli sejarah, kepribadian dan sikap wara’ ‘Utsman tidak mudah untuk ditandingi. Suatu ketika ‘Utsman pulang berniaga dari negeri Syam dengan membawa keuntungan yang melimpah berupa 1000 ekor unta, minyak samin dan kebutuhan lainnya. Seseorang yang sama-sama pedagang besar menawar barang-barang milik ‘Utsman untuk dijual kepada dirinya dengan harga lima kali lipat dari harga pokok, namun ‘Utsman menolaknya dan mengajukan harga sepuluh kali lipat. “Sungguh penipuan yang keji”, ujar si penawar. “Sama sekali tidak”, jawab ‘Utsman. “Ada yang siap membeli barang daganganku sepuluh kali lipat yaitu Allah ‘azza wa jalla dan aku telah menghadiahkan seluruhnya untuk kepentingan orang banyak” seraya membacakan ayat:
مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Siapa yang membawa amal baik, maka baginya [pahala] sepuluh kali lipat amalnya; dan siapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya [dirugikan].” (QS. Al-An’aam/ 6: 160)
Itulah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anh; Sang Dzun Nurain, pemilik mutiara kepribadian ahlul Qur’an yang pernah ada dalam sejarah para shahabat terkemuka. Sekalipun kebaikannya dibenamkan di bawah lumpur pekat, mutiara tetap mutiara. Keistimewaannya [manaaqib, fadhaail] dari sosok Khalifah ini merupakan saudagar zamannya yang sangat langka. Walaupun aset kekayaannya melimpah ruah, namun tidak membuat dirinya kehilangan rasa takut dan rasa malu di hadapan Rabb-nya. Terlebih harus menyengsarakan dan memadharatkan rakyat yang dipimpinnya. Dirinya benar-benar cerminan seorang “ghaniyyun syaakirun”, yakni konglomerat yang pandai bersyukur. Fa’tabiruu yaa uulil albaab
Alhamdulillah sae Tadz. Jazãkumullãhu khair. Mohon izin share.