Rabu, Oktober 15MAU INSTITUTE
Shadow

GURU SEBAGAI TONGGAK PERADABAN (Refleksi Hati Seorang Santri)

Diadaptasi oleh Misbahudin dari Pembukaan Kajian Al-Ustadz H.Teten Romly Qomaruddien di Lingkungan Pendidikan Pusdiklat Dewan Dakwah

Guru Sebagai Lentera Peradaban

Guru merupakan ruh peradaban, guru pun menjadi energi perubahan. Manusia tidak akan cerdas tanpa adanya sosok seorang guru. Manusia tidak akan berakhlak mulia dan memiliki peradaban tanpa adanya keteladanan guru sebagai “role model”. Berharganya guru dalam pentas peradaban tergambar dalam wahyu pertama yang Allah ‘azza wa jalla turunkan yang memerintahkan manusia untuk membaca. Membaca di sini, mengandung makna membaca dalam artian berliterasi yang luas dan mendalam.

Dalam prakteknya, hal ini hanya bisa dilakukan oleh seorang guru. Karenanya, salah satu bagian keteladanan dari sisi kehidupan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok dirinya sebagai guru yang sukses. Allaahu yarhamh K.H. Muzayyin Abdul Wahhab sering menunjukkan sebuah buku untuk dipelajari, yakni Ar-Rasuulul Mu’allim karya seorang ulama Syria Fadhilatus Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah.

Menengok sejarah kelam suatu negara yang pernah digadang-gadang sebagai negara yang akan tumbuh besar pada masanya, yakni Jepang. Ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibumi hanguskan oleh Amerika dan sekutu pada akhir Perang Dunia II, maka satu pertanyaan retoris dan melegenda dari seorang Kaisar Hirohito: “Berapa jumlah guru lagi yang tersisa?” Maka pertanyaan ini bukan hanya sebatas retorika kosong yang jauh panggang dari api, melainkan pertanyaan yang mengandung kesadaran diri pentingnya berbenah setelah negaranya luluh lantah. Perlahan tapi pasti, Jepang pulih kembali menggeliat cepat menjadi negara maju dengan mengoptimalkan peranan guru sebagai ujung tombak pembangunan dalam melanjutkan peradabannya.

Mohammad Natsir Sebagai Guru Bangsa

Siapa yang tidak mengenal M. Natsir?; Sosok seorang guru bangsa yang masyhur bukan hanya sekadar tokoh nasional, melainkan di kancah internasional. Salah satu penggalan episode sejarah yang cukup menggelitik saat penobatan “Pahlawan Nasional” dirinya, mengalami sedikit kendala dikarenakan masih ada pihak-pihak yang keberatan. Saat itu pula muncul narasi di berbagai media, “Terkendala di tingkat nasional, namun masyhur di belantara internasional”. Dengan gaya seloroh penuh guyon, Allaahu yarhamh K.H. Syuhada Bahri menuturkan kesaksiannya. Hal ini tidaklah berlebihan, dalam buku-buku yang ditulis tokoh-tokoh dunia semisal Raja Faishal [KSA], Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz [Mufti KSA], Sayyid Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadawi [Ulama Benua India], Sayyid Abul A’la al-Maududi [Ulama besar Pakistan], Syaikh Fathi Yakan [Sayap Dakwah Ikhwanul Muslimin Mesir], Prof. Dr. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi [Mantan Presiden Fiqih Dunia], Dato’ Seri Anwar Ibrahim [Perdana Mentri Malaysia sekarang], dan masih banyak tokoh-tokoh dunia lainnya. Hal ini pun dibenarkan oleh para kader yang pernah dikirim studi ke Timur Tengah, di antaranya K.H. Abdul Wahid Alwi.

Sosok yang amat cerdas dan pemikir ini, sebagaimana disampaikan Prof. Dr. A.M. Saefuddin [saat mendiskusikan sosok M. Natsir dan Syed Naguib al-Atthas di Madrasah Lantam Menara Dakwah]. Menurutnya, M. Natsir bukanlah tipe sosok pemikir yang sekadar asyik hanya duduk di atas “menara gading”. Tetapi seorang pemikir yang sangat mengerti, senyawa dan menjiwai bukan hanya mengikuti suara hatinya semata, melainkan mengarungi kedalaman relung jiwa dan suara hati umatnya. Sehingga segala permasalahan dan dinamika umat, dirinya hadir sebagai “problem sorver” yang membimbing umat ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas dalam menggapai keridhaan-Nya, serta membangun visi dan misi kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Bukan hanya pejabat negara dan tamu kehormatan negara asing yang mengenal dirinya, para pedagang pasar Tanah Abang hingga tukang beca sangat mengenal sosoknya.

Selain membimbing umat, M. Natsir juga merupakan sosok ulama dan tokoh yang gigih membentengi dari paham-paham yang merusak aqidah dan merusak kehidupan berbangsa. Paham komunisme, atheisme, sekularisme, nativisme, kristenisasi dan isme-isme lainnya, tidaklah luput dari perhatiannya. Karenanya, sejak dirinya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia maka narasi dakwah difaa’an pun cukup menonjol selain dakwah binaa’an. Yang pertama lebih pada penangkalan dari paham-paham merusak, sedangkan yang kedua lebih pada pembinaan umat.

Kembali ke masalah guru, M. Natsir memberikan sebuah quote yang sangat menarik. Nasihat ini terkenang abadi dan senantiasa hidup pada lubuk hati para generasi pelanjut perjuangannya; Sebuah nasihat yang mampu menjadi api spirit, senantiasa berkobar dalam pusaran waktu dan zaman. “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya”. Untaian kalimat ini bukanlah isapan jempol belaka, melainkan kehidupan nyata. Bukankah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berhasil memukul mundur penjajah Tatar Mongolia, Syaikh Oemar Muhtar sang “Singa Gurun Libia” yang mampu mengusir prajurit-prajurit Benigno Mussollini dari Italia, Syaikh Ahmad Yasin yang duduk di kursi roda berhasil membina kader pejuang menghadapi penjajah Zionis, Tuanku Imam Bonjol memimpin perang Paderi, Panglima Besar Jendral Soedirman berhasil memimpin gerilya, dan tokoh-tokoh lain di segala zaman. Mereka adalah guru, tidak terkecuali M. Natsir pun seorang guru dan pendiri Pendidikan Islam [PENDIS] sekaligus.

Menjadi Guru Rabbani

Membaca kembali kitab-kitab para ulama, maka istilah ‘aalimun rabbani, yakni guru yang bersandar pada konsepsi Rabb-nya akan banyak kita temukan. Salah satunya Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Al-Fawaaid dan Miftaahu Daaris Sa’aadah ketika menafsirkan hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan. Seiring dengan paparan shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh sebagaimana Al-Hafizh Ibnu Katsir menukilkan bahwa dikatakan Rabbani itu adalah mengandung di dalamnya: ahli ilmu [al-‘ulamaa’], ahli agama [al-fuqahaa], orang-orang berjiwa lembut [al-hulamaa’], orang-orang bijak [al-hukamaa’] dan orang-orang yang memelihara nilai takwa [al-atqiyaa’]. Dengan demikian, sangatlah wajar apabila para pakar Pendidikan [semisal seorang Prof. Dr Mahmud Yunus dan lainnya], sering mengangkat mahfuuzhat yang sangat familiar dalam dunia Pendidikan Islam. Sebuah ungkapan yang begitu mendalam dan sarat makna, sebuah kalimat yang tidak usang dalam putaran zaman.

الطريقة أهم من المادة، والأستاذ أهم من الطريقة، وروح الأستاذ أهم من الأستاذ

“Metode pembelajaran lebih penting dari materi pelajaran, guru lebih penting dari metode pembelajaran, dan hadirnya ruh/ jiwa seorang guru jauh lebih penting dari guru itu sendiri”.

‘Ibarah ini memberikan sebuah pesan berharga bagi para guru dalam konteks umum. Bahwa ruh guru, energi jiwa guru itulah yang akan memberikan pengaruh yang luar biasa. Kualitas jiwa yang dimiliki oleh seorang guru, mampu menembus jiwa-jiwa gersang para penuntut ilmu yang sedang mencari jati diri. Ruh guru yang membawa vibes atau nuansa yang berbeda ketika dia berkata-kata dan memberikan nasihat kepada anak didiknya.

Seperti halnya sebuah teko; Teko kosong tidak akan mampu memberikan kesegaran apa pun bagi mereka yang kehausan, hanya teko yang berisi air segarlah yang mampu menghilangkan rasa haus dan mampu memberikan kesegaran untuk semangat dalam menapaki jalan hidup dan kehidupan. Guru perlu terus mengupgrade keilmuan dan guru pun perlu mengupgrade keimanan dengan senantiasa menjaga kedekatannya kepada Allah ‘azza wa jalla. Itu point penting agar ruh sebagai guru tetap hidup, menyala, berkobar dan mampu membakar semangat para penuntut ilmu. Laksana membangkitkan “batang terandam”, seorang guru M. Natsir telah mampu membangkitkan semangat juang “kaoem moeda” di masanya.

Narasi Penutup

Di penghujung bahasan kajian, guru kami [Ustadz Teten Romly Qomaruddien] memanggil salah satu guru yang hadir untuk maju ke depan membacakan nasihat akhir dalam pertemuan tersebut dengan bahasa Sunda [bahasa daerah Jawa Barat]. Adapun petuah yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Yeuh barudak, ustadz rek pepeling: Hirup kudu jeung huripna; Mun hayang matih kudu matuh, omat ulah motah. Hirup kudu bisa ngajenan, mun urang hayang diajenan. Urang kudu bisa ngajalmakeun mun urang hayang dijalmakeun, kudu bisa nitipkeun diri mun hayang katitipan. Tembongkeun wiwaha jeung komara poma ulah kadongdora, ulah kaberung ku nafsu awuntah ku amarah. Ulah hirup adigung ngarasa aing teu deungeun, raga ngan ukur sasampayan sing bisa ngajaga lisan jeung perasaan. Hade basa ka papada, someah ka balarea. Sing inget ka diri ngukur ka kujur, ulah kaleuleuwihi meunteun batur. Hirup mah kudu basajan kalayan ulah kaluar tina ajaran Pangeran jeung Rasul utusan, yen elmu teh gening berat kacida mun teu dibarengan ku amal. Nyakitu deui elmu jeung amal, kosong molongpong mun teu dikawal ku adab tea. Eta teh nasehat keur diri kuring nu faqir elmu jeung atah pangalaman; Mun bener tuturkeun, mun salah tinggalkeun!!!”.

Apabila diterjemahkan, maknanya adalah sebagai berikut: “Wahai anak-anak santri, ustadz sampaikan wejangan untuk kalian: Hidup itu harus siap dengan konsekuensinya; Kalau kita ingin memiliki pengaruh maka harus komitmen, tidak boleh hidup seenaknya. Hidup harus bisa menghargai orang kalau ingin dihargai. Harus bisa mengorangkan orang lain kalau ingin diorangkan, harus bisa menitipkan diri kalau ingin dipercaya. Tunjukkan wibawa dan aura diri tanpa harus berlebihan, jangan suka mengikuti nafsu terbawa amarah. Jangan merasa besar kepala tidak peduli orang lain, badan hanyalah tempat bersandar maka lisan dan perasaan harus kita pelihara. Harus menjaga tutur kata pada sesama dan menebar ceria kepada semua orang. Harus sadar atas kekurangan diri, jangan berlebihan menilai orang lain. Tunjukkan gaya hidup sederhana, jangan keluar dari aturan Allah yang Maha Kuasa dan Rasul-Nya, yang ternyata ilmu itu sangatlah berat apabila tidak diiringi amal perbuatan. Demikian pula ilmu dan perbuatan, menjadi kosong apabila tidak dikawal oleh adab. Semua itu merupakan nasihat untuk diri ini yang masih faqir ilmu dan masih kurang pengalaman; Kalau benar silahkan diikuti, kalau pun salah ditinggalkan saja!!!”. Lauwlal murabbiy maa ‘araftu Rabbii

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!