Minggu, Maret 23MAU INSTITUTE
Shadow

SHAUM SYAWWAL DAN “LEBARAN KETUPAT”

SHAUM SYAWWAL DAN “LEBARAN KETUPAT”
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Shaum enam hari di bulan syawwal, tidak diragukan lagi kesunnahannya. Hal ini bersandar pada hadits Rasulullah shalallaahu ‘alahi wa sallam riwayat Al-Jamaa’ah dan Imam Muslim dari shahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallaahu ‘anh yang menyebutkan: “Barangsiapa yang menunaikan shaum ramadhan, lalu diikuti dengan shaum enam hari di bulan syawwal, kedudukkannya laksana shaum satu tahun lamanya”.

Dalam Al-Ilmaam Fie Adaabin wa Ahkaamis Shiyaam dijelaskan: “Pengertian tsumma atba’ahu (lalu diikuti), meliputi dua makna; berturut-turut pelaksanaannya (mutataaba’ah) dan berpisah atau berselang pelaksanaannya (mutafarraqah, munfashalah), tentu saja selama tidak keluar dari bulan syawwal. Keduanya boleh dilakukan, satu sama lain tidak mengungguli dalam hal keutamaannya” (Lihat Al-Ilmaam, Samin bin Amir az-Zuhairi, hlm. 51).

Sekalipun Imam Ahmad dan An-Nasa’i rahimahullaahu ‘anhumaa melemahkan riwayat tersebut, namun keduanya tidak menyebutkan sebab lemahnya (ghair mubayyanis sabab). Sementara Ibnu Sa’ad dan Ibnu ‘Ady rahimahullaahu ‘anhumaa menganggap kuat raawi yang dilemahkan itu (Sa’ad bin Sa’id bin Qais). Bahkan Imam Muslim memasukkannya dalam kumpulan hadits-hadits shahihnya, sedangkan Imam Abu Dawud tidak berkomentar. Sementara Imam Malik dan Abu Hanifah hanya “khawatir” orang-orang menganggapnya perkara wajib. (Lihat buku Risalah Shaum; Sunnah-sunnah dan Bid’ah-bid’ahnya, hlm. 132-134).

Oleh karenanya, menunaikan shaum enam hari di bulan syawwal merupakan shaum sunnah yang sangat dianjurkan, mengingat keutamaannya yang sangat besar.

Adapun anggapan adanya “lebaran kedua” setelah menunaikan shaum enam hari di bulan syawwal atau sebahagian menyebutnya dengan “lebaran ketupat” dengan berbagai tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) yang menggunakan istilah beragam sesuai masing-masing daerahnya, bukanlah ajaran sunnah nabawiyyah.

Tradisi serupa tidak hanya terjadi di Nusantara, melainkan di negeri-negeri Muslim lainnya. Syaikh Muhammad ‘Abdus Salam Khadhr as-Syaakiri menuturkan: “Sebahagian masyarakat Arab ada yang menjadikan hari setelah selesainya shaum syawwal sebagai hari raya kedua dengan sebutan “iedul abraar” (artinya: hari raya penuh kebaikan). Mereka berkumpul di mesjid Husain atau mesjid Zainab, bercampur (pria dan wanita) sambil bersalaman dan saling mengucapkan selamat dengan ungkapan-ungkapan jahiliyyah. Setelah itu, mereka menuju hidangan yang sudah disiapkan berupa makan besar atau sekedar makanan ringan dicampur susu” (Lihat As-Sunan wal Mubtada’aat, hlm. 162-163).

Maksud hati ingin memaksimalkan amalan, namun dihiasi sikap berlebihan dan “ibadah tambahan” (ghuluw fied diin). Alih-alih mendapatkan kesempurnaan ibadah yang diinginkan, yang terjadi malahan ajaran agama menjadi berantakkan. Wallaahul musta’aan
_________________

Penulis adalah: Pegiat dan pemerhati sosial-keagamaan, serta Pengasuh kajian madrasahabi-umi.com

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!