Senin, September 9MAU INSTITUTE
Shadow

DA’WAH; ANTARA FIQHUL WAAQI’ DAN FIQHUL AHKAAM

DA’WAH; ANTARA FIQHUL WAAQI’ DAN FIQHUL AHKAAM
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Terwujudnya sebuah tujuan (maqaashid), sangat tergantung kepada perantara tujuan itu (wasaail). Dalam logika da’wah, di dalamnya mengandung pengertian: “Keberhasilan sebuah usaha da’wah sangat ditentukan oleh strategi fiqih da’wah itu sendiri.”

Sekalipun bukan harga mati, paling tidak mendorong bagi pelaku da’wah untuk melakukan persiapan yang lebih maksimal agar tujuan da’wah dapat tercapai tanpa menafikan kehendak (iraadah) yang Maha Kuasa. Makanya, diperlukan peningkatan kemampuan untuk memahami segala perbedaan tingkatan aqal, karakter, wawasan dan lainnya, terutama mengenai pribadi da’i sebagai subjek da’wah dan kehidupan da’wah itu sendiri sebagai objeknya.(Fathi Yakan, Al-Istii’aab fî Hayaatid Da’wah wad Daa’iyah, 1985: hlm. 9)

Sebenarnya pembahasan mengenai masalah ini sudah banyak dikaji para tokoh dan pemikir zaman ini, Al-Bayanuni dalam kitabnya Al-Madkhal Ilaa ‘Ilmid da’wah (1997), ‘Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Ushuulud Da’wah (1993), Hasan Al-Banna dengan kitabnya Fiqhul Waaqi’ (2000), Sayyid Quthb dan Mushthafa Masyhur dengan Fiqhud Da’wah-nya (1995). Tidak terkecuali Dr. Mohammad Natsir dengan buku yang sama, Fiqhud Da’wah (1988), sebuah buku panduan da’wah yang sangat legendaris di kalangan aktivis da’wah.

Dalam prakteknya, memahami lapangan da’wah tidak semudah membalikkan telapak tangan, di mana seorang pelaku da’wah akan dihadapkan kepada dua kenyataan, antara bagaimana memahami realitas yang dihadapi (fiqhul waaqi’) dengan memahamkan dalil syari’at yang harus diamalkan (fiqhul ahkaam), mana yang harus lebih didahulukan?

Di sinilah para da’i akan diuji, mampukah mereka menimbang-nimbang dua persoalan tersebut. Dalam istilah Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bagaimana seorang da’i mampu memetakan fiqhul muwaazanaat bainal mashaalih wal mafaasid, artinya mempertimbangkan antara kemashlahatan dan kemadharatan atau kerusakan secara seimbang yang didasarkan kepada pemahaman kajian ilmiah, objektifitas dan kecermatan terhadap realita, baik realitas kita maupun realitas orang lain dengan memanfa’atkan semua data, informasi dan sarana modern. (Al-Qaradhawi dalam As-Shahwah al-Islaamiyyah Bainal Ikhtilaafil Masyruu’ Wat Tafarruq al-Madzmuum, 1992: hlm. 7).

Yang lebih adil dari kedua pertimbangan tersebut itu, adalah memadukan antara pemahaman syar’i dan pemahaman realita agar dapat saling menyempurnakan sehingga mampu mencapai pertimbangan ilmiah secara benar, jauh dari sikap ekstrim dan ceroboh. Qaidah semacam ini telah muncul semenjak zaman para ulama terdahulu dan diulas dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Mustashfaa karya Al-Ghazali, Al-Muwaafaqaat karya As-Syaathibi, Al-Qawaa’id karya Al-Juwaini, Al-Asybaah karya As-Suyuuthi dan Al-Furuq karya Al-Quraafi. (Lihat: Al-Qaradhawi, Awlaawiyaat al-Harakah al-Islaamiyyah Fiel Marhalatil Qaadimah (terj.), 1993: hlm. 29).

Terlepas dari pro dan kontra, mana yang lebih wajib didahulukan, nampaknya keduanya setuju bahwa “fiqhul waaqi” sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki oleh para pengemban da’wah. Namun demikian, perlu adanya batasan-batasan dan persyaratan-persyaratan dalam penerapannya agar tidak terjadi penyimpangan.

Hal ini pernah dikhawatirkan Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid al-Halabi, bahwa di antara penyimpangan tersebut adalah: terjerumus dalam pemisahan antara ilmuwan agama dengan ilmuwan syari’at seperti dikenal dalam dunia tashawwuf, cepat menuduh orang lain tidak tahu kondisi (waaqi’), meninggalkan syari’at demi fiqhul waaqi’ tanpa landasan ilmu, meremehkan tauhid dan sunnah Nabi, mengikuti tradisi dengan alasan fiqhul waaqi’, dan lain-lain. (Lihat: Fiqhul waaqi’ Bainan Nazhariyaat wat Tathbieq (terj.), 1994: hlm. 64-83).

Bahkan sebelumnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menegaskan dalam bukunya Suaal Wa Jawaab Haula Fiqhil Waaqi’ bahwa mengetahui fiqhul waaqi’ (memahami realitas) merupakan ilmu yang penting untuk diketahui. Namun, menurutnya tidak berarti harus berlebihan sampai menggeser fiqih-fiqih lainnya seperti halnya Fiqhul Qur’an, Fiqhus Sunnah, Fiqhul Lughah, Fiqh Hukum Alam dan Fiqhul Ikhtilaaf dan lain-lainnya. Masih menurutnya, memahami Fiqhul Qur’an dan Fiqhus Sunnah merupakan pokok dan dasar dari semua jenis fiqh. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan memahami fiqh ini hukumnya fardhu ‘ain, mengingat besarnya kebutuhan kaum muslimin dan keharusan untuk berpegang teguh padanya. Sedangkan fiqih waaqi’ hukumnya fardhu kifaayah, artinya sebuah kewajiban yang apabila telah dilaksanakan oleh sebahagiannya, maka gugurlah kewajiban sebahagian yang lain. Sikap yang adil adalah sikap pertengahan, memahami fiqhul waaqi’ adalah penting, namun tidak menenggelamkan mereka di dalamnya. (Lihat: Fiqhul Waaqi’ Upaya Memahami Realitas Ummat Islam (2006) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani).

Untuk menggambarkan betapa memahami realitas itu sesuatu yang penting dan bagaimana caranya agar selamat dari problem tersebut, Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sejak awal telah memberikan rambu-rambunya, di antaranya hadits yang menunjukkan betapa pekanya Rasulullaah dalam melihat realita lingkungan yang dihadapi dengan memberikan solusinya.

(إِذَاتَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لَايَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ  (رواه أبو داود

“Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘inah dan kalian mengambil ekor sapi, serta sudah ridha terhadap bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anh, di shahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah al-Hadits as-Shahîhah, 1/ 42 no. 11).

Menurut Nashir bin Sulaiman al-‘Umr (Lihat: Fiqhul Waaqi’ Muqawwamaatuhu Atsaaruhu Mashaadiruhu: 1993), untuk lebih selamatnya memahami Fiqhul Waaqi’, maka penting untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Berpegang pada prinsip-prinsip syar’i dan aqal dalam menilai suatu fakta dan dalam membuat prediksi.
2. Teliti dalam menukil dan menerima informasi (Lihat: QS. Al-Hujuraat/ 49: 6)
3. Seimbang dalam menentukan sumber (Lihat: QS. Al-Baqarah/ 2: 143).
4. Berinteraksi dengan baik dan menjauhi bahaya (Lihat: QS. An-Nahl/ 16: 125 dan Al-Baqarah/ 2: 269).
5. Tidak memastikan dalam membuat prediksi (Lihat: QS. Luqman/ 31: 34 dan QS. Al-A’raf/ 7: 188).
6. Waspada pada sikap ta’ajjub kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang menyimpang.

Adapun batasan pokok yang dijadikan sendi-sendi fiqhul waaqi’, di antaranya memilih sumber, mana yang harus didahulukan dari sumber-sumber yang lebih selamat dalam menimbang persoalan-persoalan yang dihadapi. Sumber-sumber yang dimaksud adalah: Al-Qur’an dan Tafsirnya, As-Sunnah an-Nabawiyyah, Sierah salafus shalih, kitab-kitab ‘aqidah dan fiqih, mempelajari dan memahami sejarah, sumber-sumber yang berhubungan dengan politik, hubungan politik dan ekonomi (termasuk sosial, budaya dan keamanan, pen.) dan sumber lain yang bersifat informatif. Wallaahu a’lamu bis shawwaab
______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!