KEMBALI KEPADA AQIDAH TAUHID
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam kalamNya:
… يَقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُه ُ…
“Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya.” (QS. Al-A’raaf/ 7: 59, 65, 73, 85)
Seruan tersebut disampaikan oleh Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Syu’aib dan para Nabi ‘alaihimussalaam lainnya kepada kaumnya masing-masing. Demikian pula Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam; 13 tahun lamanya menyeru kaumnya di Makkah, mengajak bertauhid dan meluruskan aqiedah mereka.
Hal ini dilakukan semata-mata karena tauhid merupakan asas utama dalam menegakkan agama (iqaamatud dien). Sungguh para penyeru da’wah (du’aat) hendaknya mengutamakan “da’wah Tauhid” dan membenahi keyakinan kaumnya (ishlaahul ‘aqiedah). Kemudian melanjutkannya dengan urusan-urusan agama (umuurud dien) lainnya.
Makna Aqidah
Para ulama’ memaparkan akan hal ini sangat banyak sekali, di antaranya adalah:
1. Syaikh Abu Bakar al-jazairy memberikan definisi Aqidah dalam bukunya ‘Aqiedatul Mu’min sebagai berikut: “Sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan aqal, wahyu dan fithrahnya. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesaksian dan kebenarannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.” (Al-Jazairy, tp. thn.: hlm. 23)
2. Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al- Fauzan menjelaskan dalam bukunya ‘Aqiedatut Tauhid bahwa aqidah berasal dari kata al-‘aqd (العقد) yang berarti pengikatan. Kalau dikatakan “اعْتَقَدْتُ كَذَا” (artinya: saya ber’itiqad begini), maksudnya saya mengikat hati terhadap hal tersebut. Jika dikatakan: “Dia memiliki aqidah yang benar, berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.” (Al-Fauzan, tp. thn.: hlm. 5)
Adapun menurut syara’, yaitu: “Beriman kepada Allah ‘azza wa jalla, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada hari akhir, serta kepada qadar baik atau pun buruk.”(Al-Fauzan, tp. thn.: hlm. 5).
3. Dr. Nashir Abdulkarim al-Aql dalam bukunya Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fiel ‘Aqiedah, menyimpulkan bahwa yang dimaksud ‘Aqiedah Islaamiyyah adalah:
اَلْإِيْمَانُ الْجَازِمُ باللهِ وَمَا يَجِبُ لَهُ مِنَ التَّوْحِيْدِ وَالطِاعَةِ وَبِمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَالْقَدَرِ، وَسَائِرِ مَا ثُبِتَ مِنْ أُمُوْرِ الْغَيْبِ وَالْأَخْبَارِ، وَالْقَطْعِيَاتِ عِلْمِيَةً أَوْ عَمَلِيَّةً
“Keimanan yang bersifat pasti kepada Allah ‘azza wa jalla dengan segala pelaksanaan kewajiban bertauhid dan taat kepadaNya, kepada malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, qadar dan seluruh perkara ghaib (metafisika) yang telah ditetapkan adanya, serta seluruh berita qath’i (jelas ada dalil) baik secara ilmiyah maupun amaliyah.”(Abdul Karim al-Aql, 1412: hlm. 5)
Pembagian dan Kesempurnaan Tauhid
Berikutnya, bagaimana seseorang dapat mengamalkan sikap beraqidah secara ilmiyah atau pun amaliyah?, dan mana saja yang termasuk dalam keduanya? Penyusun buku Fathul Majied Lis syarhi Kitaabit Tauhied memberikan jawabannya dengan membagi Tauhid menjadi dua bagian:
1. Tauhied ‘ilmi i’tiqaadi, disebut juga Tauhied fiel ma’rifat wal itsbaat. Sebahagian menyebutnya Tauhiedul ‘ilmil khabari, yaitu: Tauhid yang berkaitan dengan pemahaman dan pengenalan terhadap Allah ‘azza wa jalla, asma’ dan shifat, perbuatan-perbuatanNya, serta qadha dan qadarNya (sikap beraqidah semacam ini, lebih umum para ulama menyebutnya dengan Tauhied rububiyyah al-asmaa’ wash shifaat).
2. Tauhiedul iraadi at-thalabi, disebut juga Tauhied fiet thalabi wal qashdi, yaitu: Tauhid yang menjadi kehendak dan kebutuhan manusia kepada Allah ‘azza wa jalla, agar manusia sebagai makhluq dapat mengabdikan diri kepadaNya dengan amalan-amalan yang telah diperintahkan (‘amaliyah) (sikap beraqidah semacam ini, lebih umum para ulama’ menyebutnya dengan Tauhied uluhiyyah atau ilahiyyah. Karena berhubungan erat dengan pengabdian hamba terhadap RabbNya, maka disebut juga dengan Tauhied ‘ubudiyyah). (Lihat: Abdurrahman Alu as-Syaikh, 1420: 1, hlm. 79 – 80).
Ringkasnya, seseorang tidak dapat menunaikan Tauhid uluhiyyah dengan sempurna sebelum meyakini Tauhid rububiyyah serta Asma’ dan shifatNya.
Kesempurnaan Tauhid dapat terjadi apabila keyakinan i’tiqaadiyyah (keimanan/ aqidah) dapat seiring dan sejalan dengan keyakinan ‘amaliyyah (praktek pengabdian/ ibadah). Sejauhmana keterkaitan keduanya dapat berpadu?, Allah ‘azza wa jalla melukiskan dalam kalamNya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادِتِهِ أَحَداً
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan RabbNya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepadaNya.” (QS. Al-Kahfi/ 18: 110).
Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menjelaskan, bahwa syarat diterimanya sebuah amal adalah hendaknya seseorang ikhlash (semata-mata mengharap ridha Allah dan bertemu wajahNya), beramal shalih (benar dan mengikuti syari’ah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam). (Ibnu Katsier, 1421: 3, hlm. 1753).
Dengan demikian, sikap ikhlas karena mengharap ridha dan wajah Allah merupakan perwujudan Tauhied rububiyyah, sedangkan beribadah secara benar dengan mengikuti syari’ah Allah dan sunnah RasulNya merupakan perwujudan Tauhied uluhiyyah. Dalam prakteknya, KEMBALI KEPADA AQIDAH TAUHID tentu diiringi dengan rasa kecintaan (al- hubb), rasa takut (al-khauf) dan rasa berharap (ar-raja’) karena Allah ‘azza wa jalla.
Karena itulah, sebahagian para ulama (sebagaimana dinuqilkan Shalih Fauzan dalam ‘Aqiedatut Tauhied, tp. thn.: hlm. 56) menuturkan: “Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya mengandalkan rasa cinta semata, berarti termasuk zindieq (orang yang pura-pura iman, bahkan ingkar). Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya mengandalkan rasa berharap semata, maka ia termasuk murji’ (orang yang terlalu optimis namun tidak beramal). Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya mengandalkan rasa takut semata, termasuk Haruuri atau Khawaarij. Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan mengandalkan rasa cinta, rasa berharap, dan rasa takut, dialah sebenar-benarnya mukmin yang bertauhid (mu’minun muwahhid)”.
Rabbanaa tsabbit quluubanaa ‘alaa dienik
____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta